Liputan6.com, Jakarta Tujuh belas tahun lalu, Emsyarfi, ibu dari anak down syndrome, melahirkan anak keduanya pada usia 36. Anak laki-laki itu diberi nama Imansyah Aditya Fitri yang memang sudah terlihat berbeda sejak lahir.
“Yang saya ingat, Adit sangat lambat responsnya dan hampir tanpa ekspresi. Jarang menangis, tidak marah, cenderung diam, tidak pernah tersenyum. Hanya melongo dengan tatapan kosong,” katanya melalui pesan teks kepada Liputan6.com, ditulis Rabu (30/9).
Naluri seorang ibu, membuat Emsyarfi rajin menstimulasi anaknya seperti mengajak ngobrol, menggelitik telapak kaki dan tangannya supaya reaksinya lebih cepat, memperkenalkan anggota tubuh, dan mengenalkan suara binatang dilatihkan setiap hari di sela-sela kesibukan bekerja dan mengurus keluarga.
Advertisement
“Ketika saya mulai menyadari ada yang berbeda dengan Adit, mulailah saya berguru pada semua orang yang saya rasa bisa memberi saran. Pertama pada ibu saya seorang guru dan instruktur Taman Kanak-kanak (TK). Ibu menyuruh saya menanamkan konsep pada Adit. Besar-kecil, keras-lunak, licin-kesat, tinggi-rendah, panas-dingin, laki-laki-perempuan, tua-muda, hujan-panas, dan seterusnya.”
Setiap pelajaran yang diajarkan kepada Adit dicatat dalam buku. Jika suatu pengajaran dirasa lulus maka pelajaran itu ditandai dan tetap dilatihkan sesekali. Jika ada yang belum lulus maka dilatihkan terus-menerus.
Pembelajaran pun bermacam-macam seperti belajar mewarnai, menggambar, membuat bentuk dengan plastisin, menyusun kolase, menyusun manik-manik, menali sepatu, menyusun puzzle dan pelajaran sederhana lainnya.
“Saya menyediakan meja kecil untuk belajar di rumah, di mana pengajar dan Adit duduk berhadapan. Biar seperti belajar beneran. Sehabis mandi pagi dan sarapan, Adit harus belajar sebentar, lanjutannya bersama pengasuhnya selama saya berada di luar rumah. Ketika saya pulang, saya ambil lagi kendali Adit dan belajar lagi sesuai suasana hatinya.”
Simak Video Berikut Ini:
Kesulitan Mencari Tempat Terapi
Menurut Emsyarfi yang tinggal di pedesaan daerah Sumatera Barat, tempat terapi untuk anak berkebutuhan khusus masih sangat sulit ditemukan. Akhirnya, ia memutuskan untuk membawa Adit ke tukang pijat kampung.
“Tahun 2003 itu, tidak satupun tempat terapi yang bisa saya datangi untuk menstimulasi perkembangan Adit. Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah membawa Adit ke tukang pijat kampung yang ada di kota kami. Telaten dipijat seminggu sekali, usia 10 bulan adit bisa duduk dan 19 bulan bisa jalan. Alhamdulillah. Masalahnya banyak perkembangan lain yang tidak bisa dibantu dengan terapi pijat.”
Tak hanya diam, Ibu tangguh ini berusaha mempelajari banyak referensi dari dokter walaupun semua buku bacaannya berbahasa Inggris. Butuh waktu lama untuk ia bisa membaca dan memahami maksud buku itu.
“Poin-poin pentingnya saya catat. Saya juga mengumpulkan semua saran dari banyak orang yang peduli dan mengerti tentang kondisi anak berkebutuhan khusus.”
Dengan berbagai usaha yang dilakukan Emsyarfi untuk kebaikan anaknya, kini di usia 17, Adit tumbuh menjadi remaja yang terbilang mandiri. Bahkan ia memiliki keahlian di bidang musik yaitu bermain drum.
Ia sering tampil di berbagai acara termasuk peringatan hari disabilitas pada 3 Desember 2019 lalu. Emsyarfi meyakini, jika ditangani dan dididik dengan baik maka anak berkebutuhan khusus pun bisa menunjukkan potensinya.
Advertisement