Liputan6.com, Jakarta Bahasa menjadi salah satu faktor yang menempatkan penyandang tuli secara eksklusif. Mereka tidak mampu menggunakan bahasa lisan, di sisi lain tidak banyak non tuli yang mengerti bahasa isyarat.
Menurut peneliti dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya, Malang, Alies Poetri Lintangsari, pengembangan dan sosialisasi bahasa isyarat belum menjadi perhatian utama.
Menurutnya, dalam hal penguasaan bahasa, para ahli linguistik mengembangan hipotesis bahwa semua manusia mempelajari bahasa dan semua manusia memiliki kemampuan yang sama dalam mempelajari bahasa, begitu pula dengan penyandang tuli.
Advertisement
“Penguasaan bahasa seseorang secara umum dipengaruhi oleh dua hal, yang pertama adalah kemampuan bawaan (kecerdasan) dan kondisi lingkungan,” tulis Alies dalam penelitiannya, dikutip pada Jumat (30/10/2020).
Kemampuan manusia dalam penguasaan bahasa secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan reseptif dan kemampuan ekspresif.
Kemampuan reseptif selalu muncul mengawali kemampuan ekspresif. Kemampuan reseptif merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, memahami dan mengolah input bahasa baik oral maupun aural.
Sedangkan kemampuan ekspresif merupakan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan input bahasa yang diterima baik melalui lisan maupun isyarat.
Kemampuan ekspresif seseorang dalam berbahasa menandai partisipasi aktif dalam komunikasi. Perkembangan kemampuan berbahasa reseptif seseorang dimulai sejak lahir ketika seorang bayi mulai mendengar berbagai macam suara dan melihat berbagai macam isyarat.
Sedangkan perkembangan kemampuan berbahasa ekspresif terjadi setelah seseorang menguasai kemampuan berbahasa reseptif.
“Tangisan seorang bayi misalnya yang mengindikasi rasa lapar atau rasa sakit merupakan sebuah manifestasi partisipasi aktif seseorang dalam sebuah komunikasi.”
Simak Video Berikut Ini:
Kemampuan Ekspresif Penyandang Tuli
Kemampuan ekspresif penyandang tuli tidak dapat diukur menggunakan kriteria layaknya non tuli, melainkan diukur melalui kriteria kemampuan orang tersebut dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya melalui bahasa isyarat maupun bahasa tulis.
“Dalam hal penguasaan bahasa, seorang Tuli tidak diuntungkan dalam hal kondisi lingkungan sekitar karena minimnya penggunaan bahasa isyarat. Padahal lingkungan sekitar merupakan faktor penting dalam penguasaan dan pengayaan bahasa.”
Alies menambahkan, sistem eksklusifitas dalam pendidikan di Indonesia juga memperburuk kondisi ini, sehingga kemampuan berbahasa ekspresif seorang Tuli yang tertuang dalam media isyarat dan media tulis belum dapat mencapai hasil yang maksimal dikarenakan lingkungan sekitar yang memengaruhi kemampuan berbahasa ekspresif belum potensial dan tidak mendukung penguasaan dan pengayaan bahasa seorang Tuli.
“Penguasaan bahasa reseptif seorang Tuli didapatkan melalui media visual dan kemampuan bahasa ekspresif diekspresikan melalui media isyarat dan tulis. Ketidakmampuan seorang Tuli dalam hal literasi bukan disebabkan oleh kecerdasan ataupun kecacatan, namun dikarenakan tidak adanya mediasi yang memberikan kesempatan bagi Tuli untuk mendapatkan input bahasa sebagaimana yang didapatkan oleh orang yang mendengar,” pungkasnya.
Advertisement