Liputan6.com, Jakarta Matthew Whitaker, telah mengguncang dunia dengan bakatnya. Ia merupakan pianis jazz tunanetra yang berbakat yang bahkan membuati para ilmuwan mempelajari otaknya untuk mencari tahu bagaimana dia bisa menguasai bakatnya itu.
Matthew Whitaker lahir prematur dan memiliki banyak masalah kesehatan. Namun, itu tidak menghentikannya untuk menjadi pemain piano terkenal dan mengejar mimpinya sebagai pianis yang bisa keliling dunia.
Sejak ia berusia 11 tahun, Matthew telah melakukan resital piano jazz dan pernah tampil di lebih dari 200 klub dan ruang konser di seluruh dunia.
Advertisement
Simak Video Berikut Ini:
Kisah Matthew
Musim semi lalu, Matthew hadir di Festival Jazz New Orleans untuk pertama kalinya, dan hal itu melibatkannya ke dalam usaha baru yaitu membantu Dr. Charles Limb dengan studinya yang bertujuan untuk lebih memahami bagaimana otak musisi yang sangat berbakat bekerja.
"Saya pikir setiap kali seseorang menonton Matthew bermain piano, hal pertama yang Anda pikirkan adalah, 'Bagaimana dia melakukan itu?'" kata Limb, dilansir dari 60 Minutes. "Karena itu, daripada hanya bertanya-tanya, saya sebenarnya mencoba menjawab pertanyaan itu."
Meskipun dia sangat sukses hari ini, perjalanan Matthew untuk menjadi ahli piano tidak selalu mudah.
Ketika Matthew lahir pada usia 24 minggu, dokter memberi tahu orang tuanya, Moses dan May Whitaker bahwa bayi baru lahir mereka yang memiliki berat 1 pon dan 11 ons memiliki kemungkinan kurang dari 50 persen untuk bertahan hidup. Menurut American Association for Pediatric Ophthalmology and Strabismus, di antara banyak komplikasi yang dideritanya adalah retinopati prematuritas, penyakit yang disebabkan oleh perkembangan abnormal pembuluh darah retina pada bayi prematur yang dapat menyebabkan kebutaan.
“Saya pikir pada saat itu, saya tidak berpikir dia akan berhasil,” kata May dalam 60 Minutes. “Jadi, Anda tahu, hal itu sangat menakutkan.”
Dalam upaya mempertahankan kemampuan visualnya, Matthew menjalani 11 operasi selama dua tahun. Pada akhir tahun kedua, Moses dan May memutuskan untuk menghentikan prosedur karena mereka merasa Matthew sudah melalui terlalu banyak operasi dan para dokter melihat itu tidak menjadi lebih baik.
Dalam wawancara 60 Minutes, dokter memperingatkan bahwa dengan hilangnya penglihatan Matthew, dia mungkin tidak bisa berbicara, berjalan atau merangkak.
“Kebanyakan anak belajar merangkak, mereka belajar berjalan karena mereka ingin mencoba mendapatkan sesuatu,” jelas Moses. “Yah, Matthew tidak bisa melihat apa-apa. Jadi banyak mainan dan barang-barangnya, kami harus memiliki suara, sehingga dia ingin merangkak dan ingin menjangkau hal-hal itu.”
Ternyata, musik adalah hal yang membuat Matthew bergerak. Saat bayi, ia mulai merangkak ke arah speaker untuk merasakan musik dan pada saat dia berusia 3 tahun ia bermain dengan keyboard yang diberikan kakeknya kepadanya. Mulai dari situ ia menunjukkan bakat musiknya
“Apa yang dia lakukan itu rumit. Karena kebanyakan anak tidak bermain dengan kedua tangan. Dan mereka tidak memainkan akord dan harmoni dan semua itu. Namun, Matt melakukan itu. "
Dengan tanda- tanda yang Matt tunjukkan di depan mereka, Whitakers memutuskan untuk menyewa guru piano untuk Matthew. Ketika dia mulai bekerja dengan Dalia Sakas, direktur studi musik di Sekolah Musik Filomen M. D’Agostino Greenberg di New York City, bakat Matthew mulai berkembang.
Meskipun Sakas memberi tahu 60 Minutes bahwa sungguh sangat gila bagaimana Matthew dapat mendengarkan sebuah musik sekali dan kemudian melafalkannya, dia juga mengakui bahwa agak menakutkan untuk memainkan peran yang begitu berpengaruh dalam kehidupan musisi.
“Itu lebih menakutkan daripada melelahkan,” kata Sakas . “Ini karena saya tidak ingin gagal. Karena saya memiliki seseorang dengan bakat ini, kreativitas ini, antusiasme ini dan saya tidak ingin memadamkannya. Saya tidak ingin mengacaukan. Dia jelas punya sesuatu untuk ditawarkan kepada dunia dan saya ingin mewujudkannya."
Advertisement
Peneliti Mulai Tertarik Untuk Meneliti Bakat Matthew
Di bawah kepemimpinan dan bimbingan Sakas, Matthew mulai tampil di seluruh dunia. Ketika ceritanya tersebar hal ini membuat penasaran Limb, seorang ahli bedah dan ahli saraf dengan latar belakang musik.
Menurut 60 Minutes, Limb berspesialisasi dalam mempelajari pemindaian otak MRI untuk lebih memahami bagaimana otak orang-orang yang sangat kreatif bekerja dan dalam kasus Matthew, penasaran untuk mengetahui mengapa otaknya tampak bekerja lebih baik saat improvisasi lagu.
Setelah mengalami beberapa keraguan dari Whitakers, orang tua Matthew akhirnya setuju untuk mengizinkan pianis muda itu berpartisipasi dalam pembelajaran Limb. Matthew kemudian menjalani MRI di University of California, San Francisco dengan keyboard mini di pangkuannya dan melakukan serangkaian tes pendengaran.
Salah satu dari mereka mempelajari bagaimana level otak Matthew merespons ketika dia memainkan keyboard, sementara yang lain mengamati level otaknya saat dia mendengarkan musik dibandingkan dengan mendengarkan ceramah yang membosankan dan hasilnya mencengangkan.
“Karena dia buta, kami melihat korteks visualnya. Dan kami sama sekali tidak melihat aktivitas yang signifikan di sana, " jelas Limb . “Kemudian kami mengganti soundtrack untuknya dan kami memasang band yang dia kenal dengan baik dan dari Inilah ada yang berubah di otaknya. ”
“Sangat luar biasa. Seluruh otaknya dirangsang oleh musik,” lanjut Limb. “Korteks visualnya diaktifkan seluruhnya. Sepertinya otaknya mengambil bagian jaringan yang tidak dirangsang oleh penglihatan dan menggunakannya atau mungkin membantunya merasakan musik dengannya. Ini semacam meminjam bagian otak itu dan mengubahnya kembali untuk membantunya mendengarkan musik," tambah Limb.
Meskipun menarik, Matthew mengatakan bahwa hasilnya memang mencerminkan apa yang dia sudah ketahui selama ini.
“Saya sangat suka musik,” kata Matthew
(Vania Accalia)
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Advertisement