Sukses

Cerita Annisa, Aktivis dan Staf Kementerian yang Bantu Tingkatkan Hak Komunitas Tuli di Forum Internasional

Cerita Annisa Rahmania mengenai perjalanannya dalam menjalankan advokasi untuk komunitas tuli.

Liputan6.com, Jakarta Annisa Rahmania atau yang biasa akrab dipanggil Nia (27) merupakan seorang aktivis tuli dari komunitas Jakarta Barrier Free Tourism ( @jbftjakarta ). Ia saat ini ia juga tengah bekerja di bawah naungan Kementerian Perhubungan.

Perempuan keturunan Minangkabau, Sumatera Barat dan Jawa ini bercerita bahwa ia memiliki waardenburg syndrome dan telah tuli sejak lahir. Ia memiliki rata-rata 100 desibel dan dapat mendengar suara-suara keras seperti balon Meletus.

Waardenburg syndrome merupakan kondisi genetik langka yang ditandai dengan beberapa gangguan pendengaran dan defisiensi pigmentasi, seperti kulit pucat, rambut, dan warna mata yang berbeda antara kiri dan kanan.

“Alhamdulillah aku ditakdirkan terlahir tuli dan memiliki waardenburg syndrome. Mungkin kedua ini bisa terjadi karena ada faktor keturunan dari mami,” cerita Annisa.

Sejak Annisa masih kecil, ia menggunakan alat bantu mendengar (ABM) untuk membantu pendengarannya hingga akhirnya ia menyelesaikan kuliahnya dan memutuskan untuk berhenti menggunakan ABM.

“Dari usia 1,5 tahun sampai selesai kuliah pakai alat bantu mendengar (ABM). Selanjutnya, tak pernah pakai lagi karena saya punya cara tersendiri untuk melakukan apapun tanpa bergantung pada ABM,” kata Annisa.

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 6 halaman

Pengalaman Tidak Menyenangkan Saat Sekolah

Dari TK sampai SD, Annisa disekolahkan di SLB-B Santi Rama daerah Fatmawati. Namun, ketika ia memasuki bangku SMP, ia lebih memilih untuk melanjutkan sekolah umum dan hal itu berlanjut sampai ia memasuki kuliah.

Annisa mengatakan bahwa memasuki dua jenis sekolah yang berbeda tentunya memiliki pengalaman dan tantang yang masing-masing berbeda.

“Di sekolah luar biasa, tantangan bagi saya semasa masih bersekolah adalah kurikulum pelajaran kurang berbobot. Sedangkan, di sekolah umum, tantangan bagi saya adalah minimnya pemahaman pendidik akan tentang makna inklusivitas dan minimnya empati teman-teman,” jelas Annisa.

Namun dari segala perbedaan pengalaman dan tantangan yang ada di setiap sekolah, Annisa selalu siap memastikan diri untuk bisa mengikuti pelajaran. Ia membantu dirinya sendiri dengan mengingatkan gurunya bahwa ia seorang Tuli sehingga butuh baca gerakan bibir dan gerakan tubuh serta mencari teman sebangku yang mau meminjami catatan dan membantunya tanya jawab seputar tugas.

Selama masa sekolah, Annisa juga sempat mengalami bullying secara verbal, sosial dan fisik dari teman-teman seangkatan selama 2 tahun. Ia mengaku dipersulit untuk melihat catatan teman dan bahkan dikerjain. Selain itu, annisa bercerita bahwa siapapun yang tulus membelanya akan dibully juga.

“Saya mendapat bullying verbal seperti selalu diteriaki goblok, selalu menuduh kesalahan adalah ulah saya, dan mengancam saya jika saya laporkan kejadian ini. Selain itu, bullying sosial seperti mempengaruhi teman-teman seangkatan untuk mengucilkan atau menjauhi saya dan para pelaku meniru gestur saya dengan bertujuan untuk menertawakan saya. Dan bahkan bullying fisik seperti salah satu teman laki-laki yang pernah mendorong saya dari depan sampai punggung saya terbentur lemari loker dan pada setiap jam selesai belajar, 1-2 teman selalu melempari botol aqua plastik ke arah kepala saya,” cerita Annisa.

Perilaku bullying mengakibatkan peringkat Annisa merosot dan rasa semangat untuk bersekolah menurun drastis. Namun, Annisa tidak membiarkan hal itu untuk membuat peringkatnya terus turun. Ia memutuskan mengambil Langkah untuk terus maju.

“Langkah pertama yang saya lakukan, menangis di tempat sepi. Langkah kedua, saya menceritakan kejadian pada 1-2 guru yang dapat saya percayai atau sekadar ngobrol biasa. Sebenarnya tujuan utama ini untuk merasa tetap aman dan nyaman. Setelah itu, langkah ketiga, memaafkan para pelaku mengambil strategi diskusi personal sama guru agar memudahkan saya memahami pelajaran tanpa bergantung teman sebangku,” jelasnya.

Setelah akhirnya masuk bimbingan konseling dalam 2 tahun, orang tua Annisa meminta guru-guru untuk memantau sikap teman-teman terhadap Annisa dan menempatkannya berbeda kelas dengan para pelaku dan akhirnya solusi ini membantu.

“Saya kembali mudah mengikuti pelajaran dan mendapat peringkat terbaik di kelas,” ucapnya.

3 dari 6 halaman

Bangga dengan Identitasnya

Annisa bercerita bahwa sebelum SMP, ia telah menerima identitas dirinya sendiri karena kedua orang tua yang juga Tuli. Wawasan keluarga besar yang sudah mengetahui cara berinteraksi dengan orang Tuli berdasarkan pengalaman interaksinya dengan kedua orang tua juga sangat membantunya.

Sejak melewati banyak tantangan di SMP, Annisa mulai merefleksikan identitas sendiri. Selanjutnya, ia baru benar-benar memahami identitas sendiri seutuhnya setelah ikut program kajian Tuli di bawah bimbingan Adhi Kusumo Bharoto ( @adhi_kusumo_bharoto ) dari @lrbi.fibui.

Selain itu, Annisa juga berkata bahwa perilaku bullying yang diterimanya itu juga sama sekali tak membuatnya menyesali identitas tulinya.

“Tak ada satupun membuat saya sulit menerima identitas sebagai seorang Tuli. Yang terbesit di kepala hanya sebuah pertanyaan, mengapa mereka tak bisa mempergunakan akal sebaik-baiknya? Tapi, saya sangat bersyukur terlahir menjadi seorang Tuli,” kata Annisa

4 dari 6 halaman

Menjadi Aktivis dan Staf Kementerian

Menurut Annisa, tuli yang merupakan kelompok minoritas bahasa masih memiliki banyak masalah dan salah satu yang paling utama adalah informasi dan komunikasi.

“Pertama, bahasa isyarat selalu dipandang negatif padahal bahasa isyarat membantu Tuli mengakses bahasa Indonesia. Kedua, banyak sekolah dan universitas sebatas menerima murid Tuli saja, padahal kami juga butuh akses yang tepat misalnya juru ketik atau juru bahasa isyarat, sulih teks pada video. Ketiga, pusat pemerintahan masih memandang sebelah aspirasi Tuli hingga Tuli ketinggalan banyak informasi penting,” jelas Annisa.

Dengan memiliki followers Instagram hingga 10 ribu, Annisa memanfaatkan media sosial menjadi wadah sosialisasi pentingnya peningkatan akses informasi dan komunikasi untuk memudahkan Tuli mengakses semua bidang. Selain itu, ia juga menjadi aktivis di komunitas JBFT.

“Saya ditawarkan bergabung tahun 2018 sebagai koordinator Tuli dalam komunitas JBFT. Karena komunitas JBFT juga, saya dapat bekerja di Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek di bawah naungan Kementerian Perhubungan,” jelas Annisa.

Dengan mengimbangi waktu kuliah dan waktu berkomunitas, di tahun 2013, Annisa dipercayakan menjadi perwakilan se-Asia untuk berpidato di Parlemen UK pada Hari Disabilitas Internasional. Kemudian, tahun 2016, ia lolos seleksi program Pertukaran Kepimpinan Tuli, Budaya dan Hak untuk Indonesia dan Amerika Serikat dan diundang mengunjungi Unlimited Festival Disability Arts.

Hal ini mulai membuat Annisa dapat banyak tawaran jadi narasumber untuk berbagi pengalaman, termasuk apa yang saya pelajari dari 2 negara tersebut dan dari situ jumlah pengikutnya di instagram terus bertambah dan semakin banyak orang menanggapi advokasi saya.

“Maka saya memanfaatkan media sosial untuk mengajak orang-orang bersama terus berproses menjadi agen perubahan,” ucapnya.

5 dari 6 halaman

Target dan Harapan

Dalam pekerjaannya saat ini, Annisa bersama pegawai disabilitas Kementerian Perhubungan lainnya sedang berjuang ikut berperan dalam membahas usulan revisi beberapa PM terkait akses disabilitas. Namun, di luar pekerjaan, ia ikut mensosialisasikan isyarat-isyarat untuk istilah Islam bersama @tlh.institute.

Dengan segala perjuangan yang saat ini dilakukannya, Annisa berharap komunitas disabilitas lainnya untuk terus berjuang dan menjadi agen perubahan yang nyata.

“Teruntuk komunitas disabilitas di Indonesia, mari kita bersama tetap lanjutkan mewujudkan nyata inklusivitas pada semua bidang,” tutup Annisa.

 

(Vania Accalia)

6 dari 6 halaman

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta