Sukses

Hari Tuli Nasional, di Balik Perjuangan Mumuh dan Siregar

Tanggal ini ditetapkan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Gerkatin digelar pada 21-23 September 2017 di Hotel Lotus Garden Kediri, Jawa Timur.

Liputan6.com, Jakarta Setiap 11 Januari diperingati sebagai Hari Tuli Nasional. Tanggal ini ditetapkan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Gerkatin digelar pada 21-23 September 2017 di Hotel Lotus Garden Kediri, Jawa Timur.

Tema Rakernas saat itu adalah “Konsolidasi Organisasi Gerkatin dalam Rangka Meningkatkan Kapasitas dan Memperkuat Jaringan Organisasi”. Gagasan menetapkan sebuah hari untuk diperingati sebagai hari Tuli Indonesia pun digulirkan. Pilihannya jatuh pada 11 Januari.

Menurut Ketua Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) Juniati Effendi, tanggal tersebut dipilih sebagai penanda awal munculnya kesadaran dan kebangkitan Tuli yang dimotori oleh seorang Tuli bernama Aek Natas Siregar, Mumuh Wiraatmadja, dan aktivis Tuli lainnya di Bandung.

“Mereka mendirikan sebuah organisasi bernama SEKATUBI yang merupakan singkatan dari Serikat Kaum Tuli-Bisu Indonesia yang beranggotakan 42 orang. Tepatnya 11 Januari 1960 atau 59 tahun lalu,” tulis Juniati dalam keterangan pers, Senin (11/1/2021).

Tak hanya di Bandung, geliat berdirinya beberapa organisasi Tuli juga terlihat di daerah lain di Pulau Jawa. Kaum tuli-bisu di Semarang, Yogyakarta dan Surabaya juga turut mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Tuna Rungu Semarang (PTRS), Perhimpunan Tuna Rungu Indonesia (PERTRI) Yogyakarta, dan Perkumpulan Kaum Tuli Surabaya atau PEKATUR.

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Doa Ir. Soekarno

Setahun memperjuangkan hak Tuli dalam bidang pendidikan yang tak menunjukkan hasil, Siregar dan Mumuh pun memutuskan untuk menemui Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno.

Presiden pun menyambut dan mendukung gagasan para pejuang Tuli dan menuliskan sebuah doa untuk mereka.

“Mudah-mudahan usaha Siregar dan Mumuh dapat tercapai, sampai semua anak-anak bisu-tuli dapat perhatian dari pemerintah. Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi,” doa dari Soekarno 1 Februari 1961.

Perjuangan dan doa yang dipanjatkan nyaris 6 dekade silam ini telah membuahkan berbagai hasil. Sebagian penyandang Tuli telah menikmati belajar di perguruan tinggi, bukan hanya di Indonesia tapi juga sampai di negeri seberang.

Namun, tak dapat dimungkiri, masih banyak yang mengalami penolakan di sekolah-sekolah tertentu bahkan kalaupun bersekolah, mereka masih mengalami kesulitan-kesulitan aksesibilitas, pungkas Juniati.

3 dari 3 halaman

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta