Sukses

Apa Itu Infeksi Cytomegalovirus Kongenital, Salah Satu Penyebab Tuli pada Bayi?

Data dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada 2016-2017 menunjukkan ada 24 (5,8 persen) bayi baru lahir yang mengalami gangguan pendengaran dan berpotensi tuli akibat infeksi Cytomegalovirus (CMV) kongenital.

Liputan6.com, Jakarta Data dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada 2016-2017 menunjukkan ada 24 (5,8 persen) bayi baru lahir yang mengalami gangguan pendengaran dan berpotensi tuli akibat infeksi Cytomegalovirus (CMV) kongenital.

Cytomegalovirus adalah virus terbesar yang dapat menginfeksi manusia, dan termasuk keluarga virus herpes. Virus ini dapat ditemukan di darah, urine, semen, cairan serviks, saliva, dan air susu ibu (ASI).

Infeksi cytomegalovirus kongenital dapat terjadi tanpa gejala (asimtomatik) atau dengan gejala (simtomatik). Pada infeksi CMV kongenital simtomatik, gejala berupa kuning, pembesaran hepar (hati) dan limpa, kelainan saraf (ukuran kepala kecil, kelemahan menghisap, kejang), dan penurunan jumlah trombosit.

Infeksi CMV kongenital dikatakan berat apabila melibatkan susunan saraf pusat seperti ukuran kepala mengecil dan tuli saraf. Tuli saraf yang bersifat fluktuatif dan progresif merupakan disabilitas yang paling sering terjadi karena infeksi CMV kongenital.

Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Tri Juda Airlangga dan tim menelaah cara pemeriksaan infeksi ini.

Menurut peneliti, untuk mengetahui pola fluktuasi dan progresivitas fungsi pendengaran pada infeksi CMV kongenital, dilakukan pemeriksaan Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE) dan Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) secara berkala setiap tiga bulan sampai usia tiga tahun.

Sedang, pemeriksaan Diffusion Tensor Imaging (DTI), saat ini populer untuk penelitian dan kepentingan klinis yang berkaitan dengan otak karena mampu memberikan visualisasi dalam bentuk tiga dimensi untuk mendeteksi gangguan saraf pendengaran.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik gangguan pendengaran pada neonatus (bayi baru lahir) yang terinfeksi CMV kongenital, mengevaluasi pola fluktuasi gangguan pendengaran, dan mengetahui hubungannya dengan berbagai faktor risiko.

Dalam penelitian ini, sebanyak 52 telinga diperiksa fungsi pendengarannya menggunakan DPOAE dan BERA pada usia 3 bulan dan 22 telinga diperiksa dengan MRI-DTI pada usia 3–6 bulan. Fungsi pendengaran diperiksa kembali pada 40 telinga subjek yang sama dengan DPOAE dan BERA pada usia 6 bulan dan membandingkan hasilnya.

“Dari penelitian ini diperoleh hasil pada kelompok neonatus terinfeksi CMV kongenital simtomatik memiliki risiko 31 kali mengalami tuli saraf dibandingkan asimtomatik,” tulis peneliti mengutip keterangan pers FKUI.

Simak Video Berikut Ini

2 dari 3 halaman

Akibat Infeksi CMV Kongenital

Infeksi CMV kongenital menyebabkan hilangnya sel rambut dan mengganggu aliran darah serta metabolik telinga bagian dalam.

Dalam penelitian tersebut, terdapat 17 telinga yang mengalami fluktuasi fungsi pendengaran, 9 telinga mengalami perbaikan dan 8 telinga mengalami perburukan.

Fluktuasi fungsi pendengaran terjadi pada 12 telinga dengan infeksi CMV kongenital simtomatik dan 5 telinga pada kelompok asimtomatik. Didapatkan hubungan jumlah virus di dalam darah, tuli saraf, kadar bilirubin, dan tumbuh kembang dengan bentuk anatomi saraf pendengaran di otak.

Disimpulkan neonatus dengan infeksi CMV kongenital memiliki risiko mengalami gangguan saraf pendengaran dan bersifat fluktuatif. Pemeriksaan pendengaran menggunakan DPOAE, BERA serta MRI-DTI perlu dilakukan untuk menilai kelainan fungsi, anatomi auditorik dan faktor risiko yang mendasarinya.

“Penelitian ini berguna bagi masyarakat, untuk memberikan pengetahuan tentang dampak dan pentingnya deteksi dini gangguan pendengaran akibat infeksi CMV kongenital serta faktor risiko yang mungkin memengaruhinya,” tutup peneliti.

3 dari 3 halaman

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta