Liputan6.com, Jakarta Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam membangun proses peradilan inklusi bagi disabilitas. Hal ini disampaikan Koordinator Advokasi dan Jaringan Lembaga Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Sipora Purwanti.
Menurutnya, salah satu hal penting dalam mencapai proses peradilan inklusi adalah referral system atau sistem rujukan. Sistem ini terkait dengan jaringan lembaga atau pihak yang mengerti disabilitas dan dapat mendampingi serta mempermudah akses selama proses peradilan.
Baca Juga
“Terkait referral system, rujukannya akan seperti apa, ini setiap daerah harus punya. Misalkan kawan Tuli, di mana dia akan mendapatkan juru bahasa isyarat (JBI). Selama ini terjadi kebingungan di situ,” ujar Purwanti dalam bincang-bincang bersama Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia, ditulis Senin (8/2/2021).
Advertisement
“Kalau dia (Tuli) berada dalam proses hukum, ini akses JBI dari mana, siapa yang bayar, dan sebagainya. Ini tanggung jawab negara. Jadi, negara harus punya,” tambahnya.
Ia juga menyarankan pemerintah untuk bekerja sama dengan sekolah luar biasa (SLB). Mengingat, di setiap wilayah ada SLB dan bisa diajak sebagai jaringan untuk menyediakan JBI.
Jaringan juga bersifat sangat luas, tidak sebatas SLB, kata Purwanti. Misal, jaringan dengan rumah sakit untuk menyediakan psikolog, psikiater, dan dokter yang memahami disabilitas.
Simak Video Berikut Ini
Jaringan Ahli
Selain jaringan-jaringan di atas, ada juga jaringan yang tak kalah penting, yakni jaringan ahli. Menurut Purwanti, jaringan ini masih sangat sedikit di Indonesia.
“Contoh sederhana, misal difabel netra. Bagaimana difabel netra akan mengenali orang? Dia akan mendengar, meraba, mengenali warna suara, tampaknya saksi ahli ini belum banyak.”
Akurasi difabel netra dalam mengenali orang dari bau badan, suara, meraba, dan sebagainya masih dipertanyakan. Maka dari itu, saksi ahli sangat diperlukan guna menopang kesaksian difabel netra dalam proses peradilan.
“Kalau kita lihat dalam kitab undang-undang, difabel netra adalah bagian yang disisihkan karena kecakapan seseorang menjadi saksi harus melihat, mendengar, dan mengalami, makanya ahli ini penting.”
Selain saksi ahli di bidang tunanetra, ahli lain juga diperlukan, seperti ahli disabilitas mental atau intelektual. Terkadang, orang dengan disabilitas mental memiliki ingatan yang melompat-lompat sehingga dianggap bohong dan tidak bisa dipercaya.
“Kalau ada ahli yang bisa menyampaikan bahwa dia tidak berbohong, melainkan karena keterbatasannya jadi dia tidak bisa menyampaikan secara terstruktur maka ini akan sangat membantu menopang kesaksian,” tutupnya.
Advertisement