Liputan6.com, Jakarta Keinginan untuk memajukan hak-hak penyandang disabilitas sesuai Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 melatarbelakangi berdirinya organisasi Advokasi Inklusi Disabilitas (Audisi).
Menurut sang pendiri, Yustitia Arief, organisasi ini telah berdiri sejak 2017 dan diurus oleh para ahli di bidang advokasi untuk disabilitas yang kebanyakan adalah penyandang disabilitas dari berbagai ragam.
“Kami terdiri dari berbagai ragam disabilitas, ada yang disabilitas fisik, netra, Tuli, dan berbagai disabilitas lainnya, tapi ada juga yang non disabilitas,” ujar Yustitia kepada Disabilitas Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (10/2/2021).
Advertisement
Perempuan yang menyandang disabilitas fisik ini juga menyampaikan bahwa organisasinya fokus pada pemberdayaan dan advokasi kebijakan khususnya di wilayah Banten.
“Kami berkantor di wilayah Tangerang dan melihat masih banyak teman-teman disabilitas yang harus diperjuangkan di berbagai sektor. Utamanya, di sini belum ada kebijakan daerah atau payung hukum yang melindungi teman-teman disabilitas.”
Selama berdiri, lanjutnya, Audisi telah berhasil mengadvokasi pemerintah daerah (Pemda) dan tingkat Provinsi Banten agar memiliki payung hukum bagi penyandang disabilitas.
“Alhamdulillah kami sudah mengawal peraturan daerah (Perda) disabilitas nomor 14 tahun 2019 untuk penyandang disabilitas Provinsi Banten dan perda disabilitas Tangerang Selatan, keduanya sudah disahkan.”
Saat ini, Audisi juga tengah mengawal pembentukan peraturan daerah di Kota Tangerang untuk penyandang disabilitas dan ikut sebagai panitia Perda di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Kami memberikan masukan-masukan sesuai dengan UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas,” kata Yustitia.
Simak Video Berikut Ini
Masalah Disabilitas yang Ditemukan Audisi
Menurut Yustitia, pemenuhan hak disabilitas bersifat lintas sektor. Tidak hanya di bidang tenaga kerja dan pendidikan, tapi di semua bidang kehidupan.
Selama mengawal Perda tentang disabilitas di Banten, ia dan tim menemukan berbagai masalah. Salah satu masalah yang sangat terlihat adalah infrastruktur.
“Yang paling nyata adalah bagaimana infrastruktur ini harus dibangun agar lebih akses bagi teman-teman disabilitas agar memudahkan mobilitasnya. Misal, kami sering mengadvokasi untuk penggunaan guiding block agar teman netra bisa mandiri di jalan.”
Selain itu, advokasi di bidang informasi dan transportasi juga dilakukan dengan koordinasi bersama Dinas Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) Kota Tangerang guna penyediaan akses untuk teman Tuli.
“Misalnya dengan penyediaan teks atau bahasa isyarat, jadi aksesibilitas di semua bidang.”
Selain masalah infrastruktur, masalah juga datang dari stigma masyarakat terkait disabilitas. Menurutnya, masih ada yang beranggapan bahwa teman-teman disabilitas tidak mampu. Akibatnya, penyandang disabilitas yang ingin bekerja tidak diterima perusahaan karena perusahaannya belum memahami cara mengakomodasi kebutuhan mereka.
“Mereka juga belum memahami bahwa teman-teman disabilitas juga mampu untuk bisa bekerja dan beraktivitas setara dengan yang lain,” tutupnya.
Advertisement