Liputan6.com, Jakarta Grace Kurniadi resmi lulus dari Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Dengan begitu, Grace menyabet gelar psikolog tuli pertama di Indonesia.
Grace yang mengambil jurusan Pendidikan Profesi Psikolog ini menceritakan, ia memilih profesi psikolog atas usulan orang tua dan teman-temannya, serta kegemarannya mengamati hubungan antarmanusia.
"Saya memilih pendidikan sebagai psikolog berawal dari usulan orang tua. Mereka melihat saya sering menjadi tempat bercerita bagi teman-teman di masa SMP dan SMA," ujar Grace saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Kamis (11/2/2021).
Advertisement
Sebagai seorang tuli, Grace mengaku perkuliahan ia jalani dengan tidak mudah, dan penuh perjuangan. Beberapa kali ia kesulitan membaca gerakan bibir dosennya, terutama jika dosen tersebut berbicara terlalu cepat, artikulasi tidak jelas, senang berjalan-jalan, dan membelakangi Grace saat berbicara.
"Hal lainnya, saya kurang bisa menanggapi dengan cepat jika masuk ke dalam kelompok lebih dari empat orang,” terangnya.
Namun, wanita kelahiran Jakarta 1993 silam ini mengaku, tidak pernah mengeluh atas kendala yang ia alami tersebut. Grace justru akan berkomunikasi dengan dosennya untuk menjelaskan kondisinya dan meminta dosen tersebut untuk berbicara lebih perlahan agar mudah dipahami.
Tak jarang, dosen yang mengajar Grace tidak keberatan untuk menjelaskan kembali materi perkuliahan di luar jam kelas.
Selain itu, Grace juga akan merekam proses perkuliahan agar bisa putar ulang kembali di rumah untuk memastikan tidak ada yang terlewat.
Menurut Grace, dalam menghadapi tantangan yang ada selama berkuliah, perlu adanya perubahan cara berpikir, memiliki sikap terbuka dan memiliki kemauan untuk menerima keadaan.
Dukungan dari Teman dan Orang tua sangat penting
Wanita yang juga memiliki hobi menggambar ini menekankan, peran dan dukungan dari keluarga serta teman-temannya, sangat membantunya dalam perkuliahan selama ini. Profesionalitas dosen pun disebut Grace, turut mendukung dalam penyelesaian studinya.
“Berkat bantuan teman-teman selama proses perkuliahan tersebut yang mendukung dan mau membantu saya juga menjadi penyemangat untuk terus berjalan menyelesaikan yang sudah dimulai," jelas Grace.
"Orangtua pun juga terus mendorong untuk tetap maju, meski jika saya perlu mengulangi lagi. Tidak dari orangtua saja, saya juga mendapatkan dorongan dari hal yang saya amati pada lingkungan teman, dosen, dan juga buku yang saya baca,” tambahnya.
Kampus tempatnya belajar, juga diapresiasi oleh Grace karena telah memberikan kesempatan pendidikan inklusif bagi siapa pun, khususnya bagi orang dengan kebutuhan khusus.
Grace menceritakan, ia memiliki mimpi ingin bisa menjadi berkat bagi sesama, dan dapat menulis sebuah buku. Setelah lulus, Grace berharap bisa mengaplikasikan ilmu yang sudah ia dapat pada orang yang membutuhkan.
Selain itu, ia juga ingin memperdalam pelajaran bahasa isyaratnya, agar teman-teman Tuli yang ingin mengakses layanan konselingnya, menjadi lebih nyaman dalam berinteraksi, tanpa perlu menggunakan bantuan interpreter yang mungkin dapat memunculkan ketidaknyamanan pada calon kliennya tersebut.
(Penulis: Rizki Febianto)
Advertisement