Sukses

142 Kasus Kekerasan yang Menimpa Perempuan Disabilitas Masuk Ranah Hukum

Tercatat sebanyak 142 peristiwa hukum menimpa perempuan disabilitas di 11 provinsi selama kurun waktu tahun 2017 hingga 2019

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya pada penyandang disabilitas semakin meningkat. Berdasarkan data yang diperolah dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan (KOMNAS) terhadap Perempuan, selama kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 800%.

Data yang diperoleh Komnas Perempuan itu sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Tercatat sebanyak 142 peristiwa hukum menimpa perempuan disabilitas di 11 provinsi selama kurun waktu tahun 2017 hingga 2019.

Kekerasan yang dialami perempuan disabilitas mulai dari pemerkosaan, diskriminasi, kekerasan fisik, eksploitasi, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), pelecehan seksual, hingga tindakan kejam dan tidak manusiawi.

Kenyataan yang paling menyayat hati muncul ketika diketahui bahwa berbagai jenis kekerasan yang terjadi didapatkan korbannya dari lingkungan terdekat mereka. Tidak hanya itu, kekerasan terhadap perempuan disabilitas dilakukan oleh negara melalui aturan yang dibuat.  

“Ada 3 ruang lingkup perempuan yang sangat potensial terjadi kekerasan untuk perempuan disabilitas, keluarga atau personal, komunitas, serta negara (baik yang dilakukan personil maupun sistem). Jadi kekerasan yang kami dokumentasikan dari perempuan disabilitas tidak hanya secara fisik, tetapi juga kemudian kekerasan ini dilakukan oleh mekanisme-mekanisme serta peraturan-peraturan,” kata Maulani A. Rotinsulu, Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, ketika memberikan jawaban pembawa acara talkshow ruang publik, ditulis Jumat (19/2/2021).

 

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Penyebab Kasus Kekerasan

Banyaknya kasus ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor penyebab, seperti tidak adanya kepastian hukum sehingga beberapa orang menganggap perempuan disabilitas merupakan objek kekerasan yang aman.

“Tidak adanya kepastian hukum atas perempuan disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga dimata predator maupun orang-orang yang senang menggunakan kekuasaan untuk penindasan, perempuan disabilitas menjadi objek yang aman untuk mereka melakukan kekerasan berulang, karena tidak memiliki senjata untuk melindungi atau melakukan pembelaan. Kedua adalah masih kurangnya pemahaman terhadap hak penghormatan dan perlindungan bagi manusia, ada kelompok orang jahat atau orang yang tidak terbuka pikirannya berfikir bahwa penyandang disabilitas boleh saja menjadi objek kekerasan,” jelas Maulani.

Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas ini seharusnya mendapat perhatian semua pihak. Bukan hanya dari penegak hukum saja, para pelaksana kebijakan juga harus turut andil dalam penyelesaian kasus. Selain itu, peran media juga sangat dibutuhkan sebagai sarana edukasi untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat agar mampu mengurangi jumlah kasus.

“Sangat sulit terungkap maupun terselesaikan kasusnya, dikarenakan sikap, perilaku, maupun sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada manusia perempuan dan anak penyandang disabilitas. Sehingga situasi ini harus menjadi perhatian semua pihak, bukan hanya para penegak hukum tapi juga pembuat, pelaksana kebijakan, tapi juga media, sebagai sarana peningkatan kesadaran masyarakat,” katanya.

Senada, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra juga Aktivis Perempuan dan Anak, Rahayu Saraswati mengatakan, hukum yang ada saat ini belum memenuhi unsur perlindungan dan pemenuhan hak. "Itu yang menjadikan adanya kekosongan hukum. Tetapi kembali lagi, tanpa adanya kekosongan hukum itu juga kesadaran masyarakatnya sudah sangat lemah.”

3 dari 3 halaman

Infografis 5 Benda Harus Sering Dibersihkan Hindari Covid-19