Sukses

Pengalaman Surya Sahetapy Belajar Bahasa Isyarat Sampai ke AS

Pria yang aktif menjadi anggota Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia (gerkatin) ini pun berbagi pengalamannya selama dia kuliah jurusan Kebijakan Publik di Rochester Institute of Technology (RIT) New York, AS.

Liputan6.com, Jakarta Sejak lama, Aktivis Tuli Surya Sahetapy giat memperjuangkan bahasa isyarat di Indonesia. Khususnya di bidang pendidikan, ia berharap Teman Tuli banyak mendapatkan akses untuk sekolah.

"Apakah teman-teman tahu bahwa akses bahasa isyarat itu memang lebih kebanyakan digunakan di rumah. Dan saya berharap sekali, banyak akses di pendidikan khususnya yang dibuka, sehingga ketika nanti ada akses bahasa isyarat, kita bisa mendapatkan banyak sekali ilmu," kata Surya Sahetapy saat acara Grand Launching Aplikasi Hear Me secara daring, ditulis Rabu (24/2/2021).

Founder Handai Tuli ini mengatakan, keterbatasan bahasa isyarat kerap menjadi hambatan bagi penyandang Tuli untuk bisa mendapatkan informasi. "Karena saat ini kita hanya bisa membaca bibir atau membaca tulisan saja di buku. Itulah sumber informasi kita saat ini. Itulah yang terjadi di bidang pendidikan."

Pria yang aktif menjadi anggota Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia (gerkatin) ini pun berbagi pengalamannya selama dia kuliah jurusan Kebijakan Publik di Rochester Institute of Technology (RIT) New York, AS.

"Kalau di Rochester Institute of Technology (RIT), saya belajar dari profesornya dan langsung berbahasa isyarat. Dosen saya langsung menggunakan bahasa isyarat. Jadi saya merasakan belajar dari dosennya langsung, dari subjeknya langsung," kata Surya.

Di Rochester Institute of Technology (RIT), kata dia, kotanya sangat ramah tuli. "Kira-kira jumlah tulinya atau hard of hearing ada 90 ribu orang yang berada disini. Dan angka 90 ribu itu angka yang sangat banyak ya. Dan di tempat saya, kampus saya RIT, kira-kira 1.000 hingga 1.200 tuli maupun orang dengan hard of hearing, dan  ada profesor tuli maupun dengar sama-sama bisa bahasa isyarat dan itu merupakan jumlah yang sangat banyak. Dan saya sangat senang, aksesnya sangat terbuka disini," katanya.

Surya menceritakan, ada mata kuliah yang mengajarkan bahasa isyarat langsung. "Dan ini mata kuliah yang saya suka. Ada mata kuliah Deaf People in Global Perspective. Saya memilih ini, karena profesornya sebetulnya orang dengar tapi menjelaskannya, mengajarnya menggunakan bahasa isyarat," katanya.

Padahal, menurut Surya, di anatara semua mahasiswanya, hanya ada 3 orang tuli. Sementara mahasiswa dengarnya ada 40. Tapi profesornya tetap menggunakan bahasa isyarat.

"Artinya, saya sebagai tuli bisa langsung mendapatkan ilmunya dengan menggunakan bahasa isyarat. Sementara orang dengar, ia menggunakan juru bahasa. Jadi terbalik, ya. Jadi sistemnya ini sangat berbeda. Dan ini merupakan hal pertama kali akses seperti ini bisa saya rasakan," ungkapnya.

Yang membuat Surya juga antusias, guru-guru di sana usianya masih muda dan usia 3 tahun mungkin sudah mendapatkan akses bahasa isyarat. "Sementara saya berumur lima tahun baru bisa mendapatkan akses bahasa isyarat."

 

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Bahasa isyarat di AS

Surya mengatakan, dulu bahasa isyarat ini bukan bahasa. Bahasa isyarat justru dianggap seperti bahasa tarzan dan lain-lain. Namun seorang profesor, William Stokoe dari Inggris, Gallaudet University mengajarkan bahasa Inggris dengan menggunakan sistem bahasa Inggris.

Setelah mengajar, kemudian Stokoe heran dengan teman-teman tuli yang tidak menggunakan sistem isyarat, tapi menggunakan bahasa isyarat asli Amerika saat itu. Dan Stokoe akhirnya melakukan penelitian.

"Dan ternyata bahasa isyarat asli ini yang digunakan orang tuli Amerika sebetulnya merupakan bahasa yang punya grammarnya sendiri, punya sistemnya sendiri dan ada semacam linguistiknya tersendiri. Saat itu ia tunjukkan kepada teman-teman tuli. 'Hei, tadi isyarat kamu itu sebenarnya bahasa loh." Tapi mereka malah menganggapnya aneh. Lalu Stokoe melakukan penelitian dan menunjukkan hasil penelitiannya bahwa isyarat itu adalah bahasa. Teman-teman yang melihatnya merasa senang. Lalu disosialisasikanlah penelitian tersebut ke seluruh dunia, bahkan termasuk Bisindo. Harapannya kedepannya nanti akan seperti itu," jelasnya.

Terkait bahasa isyarat di AS, kata Surya, kurikulum bahasa isyarat di Amerika ada sekitar 500 ribu lebih. "Ketika kalian datang ke sebuah kampus, atau ke kantor polisi atau mungkin ke fasilitas layanan publik, mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa isyarat. Karena dulu sekitar tahu 2004 atau 2005 ada kelas bahasa isyarat yang sudah disosialisasikan secara nasional," kata Surya.

Surya sendiri melakukan sebuah penelitian terkait bahasa isyarat itu. Orang-orang mengira bahasa isyarat hanya untuk mengobrol saja. Padahal, bahasa isyarat bisa juga digunakan untuk pendidikan bahkan sifatnya akademisi yang menggunakan literasi yang lebih tinggi.

"Contohnya dalam penelitian saya terkait bahasa isyarat. Saya menemukan bahwa bahasa isyarat ini sebenarnya setara, baik lisan maupun tersirat. Tidak ada bedanya, seperti bahasa Inggirs dan bahasa Indonesia, lebih bagus yang mana, tidak ada, itu merupakan bahasa juga. Nah contoh lain, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak bisa dicampur, sama halnya dengan bahasa isyarat dan bahasa Indonesia, tidak bisa campur. Karena ada tata bahasanya sendiri. Misalnya di bahasa Indoensia: Nama saya Surya. Sedangkan bahasa Inggris kan tidak menggunakan tata bahasa yang sama, tidak mungkin bahasa Inggrisnya: Name I Surya, melainkan My name is Surya. Begitupun sebaliknya. Jika di bahasa Indonesiakan, artinya bukan menjadi Kepunyaanku nama adalah Surya. Kenapa seperti itu? Karena masing-masing punya grammmernya tersendiri, punya aturannya sendiri, dan itu merupakan hal yang beda. Begitupun dengan bahasa isyarat," ungkapnya.

Contoh lainnya, kata Surya, ASL (American Sign Language) dengan bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris: There's one story I'll never forget, sementara ASL-nya: One (me) story never forget. Sedangkan kalau bahasa Indonesia dan bahasa isyarat Indonesia, misalnya bahasa Indonesianya: Saya tidak punya pensil, tapi dalam bahasa isyarat Indonesia: Saya pensil tidak ada. Demikian grammarnya. "Memang berbeda. itu mungkin kalimat antar bahasa Indonesia dan bisindo berbeda," pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas