Liputan6.com, Jakarta Orkestra wanita tunanetra asal Mesir menjadi salah satu grup yang menginspirasi dunia musik seperti Beethoven yang tuli namun bisa menjadi seorang komposer yang hebat dan menyembuhkan dunia melalui musiknya.
Orkestra tersebut bernama Al Nour Wal Amal, jika diterjemahkan, artinya terang dan harapan. Itulah harapan pendirinya, almarhum Istiklal Radi pada tahun 1961, saat mendirikan ini, terutama bagi wanita.
Baca Juga
Institut yang ia bangun didasarkan pada minat akademis yang memperkenalkan wanita tunanetra ke dunia musik dan membantu mereka menyembuhkan diri sendiri dan orang lain melalui bakat mereka. Mantan Presiden Akademi Seni Mesir, Kementerian Kebudayaan, dan mantan Dekan Konservatorium Musik Kairo, Dr. Samha El Kholy juga membantu upaya ini. Almarhum pendiri selalu ingin memberikan kesempatan kepada gadis-gadis tunanetra untuk tidak hanya mengekspresikan emosi mereka tetapi juga menunjukkan keahlian mereka.
Advertisement
Dilansir dari Visiontimes, institut musik ini menawarkan kesempatan kepada gadis-gadis yang terdaftar untuk meraih gelar ganda. Pagi harinya mengikuti program pendidikan formal, dan sore harinya mempelajari alat musik orkestra tertentu.
Dibantu dengan profesor berkualitas dan terampil dari Cairo Conservatory of Music, College of Music Education of Helwan University, dan the Cairo Symphony Orchestra, para siswa ini belajar musik dengan harmoni menggunakan huruf braillle, solfege, dan pelatihan telinga.
Tentu tidak mudah mempelajari musik, bahkan bagi orang non-disabilitas. Bagi tunanetra, mereka harus menghafal setiap karya musik dengan membaca braille, lalu mengaplikasikannya untuk memainkan alat musik. Namun buktinya, para siswa mampu mengatasinya saat ujian tahunan dengan konsep menghafal.
Salah satu anggota, Sumeya Muhammad menggambarkan orkestra sebagai rumah keduanya. “Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di sini,” katanya, dikutip dari Classicfm.
Simak Video Berikut Ini:
Generasi keempat
Anggota lainnya mengatakan, “Saya bergabung dengan orkestra ketika saya berusia 21 tahun. Sekarang saya berusia 59 tahun. Reaksi orang-orang sangat bervariasi. Ada orang yang bilang musik itu haram. Sementara orang lain mengatakan itu adalah hal yang indah untuk dilakukan. Ada juga orang yang berpikir bahwa orang buta seharusnya pergi ke kuburan dan membaca Alquran untuk orang mati. Kami mencoba untuk mengubah ide-ide ini," dikutip dari DW News.
Saat ini, grup orkestra yang ada merupakan generasi keempat yang telah tampil di banyak tempat, seperti Austria, Kanada, Yunani, Jepang, Inggris, dan Spanyol. Setiap musisi memiliki instrumen khusus untuk dimainkan dan lembaran musik braille yang telah mereka hafal. Namun sejak pandemi dan pemberlakuaan pembatasan, sehingga kegiatan rutinan ini harus dibatalkan tahun lalu.
Berbulan-bulan tidak latihan, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi musisi tunanetra ini. Namun dengan ketekunan dan dedikasi, mereka mampu membawakan penampilan sempurna di Manasterly Palace di Kairo hanya dengan latihan selama tiga minggu belum lama ini.
Tentunya para musisi termasuk kondektur mereka yang bukan tunanetra melaksanakan semua tindakan pencegahan COVID-19 seperti sanitasi, menjaga jarak dan mengenakan masker.
Pemimpin orkestra, Shaymaa Hussein, mengatakan, "“Dengan orkestra ini, saya dapat mengubah cara pandang Mesir dan dunia terhadap mereka yang mengalami gangguan fisik."
"Saya memberi tahu dunia bahwa meskipun kehilangan penglihatan, saya adalah musisi terkemuka," katanya, dikutip dari TRT World.
Advertisement