Liputan6.com, Jakarta Seorang koki bernama Regina Mitchell memulai kelas memasak zoom. Yang menjadikan kelas memasaknya lebih menarik dan unik daripada kelas lainnya, yaitu karena ia menunjukkan dirinya yang tunanetra juga bisa menjadi chef dengan menu-menu andalannya.
Chef Regina dengan lugasnya mengatakan ke kamera bahwa orang tunanetra juga bisa memasak. Usianya yang sudah 60 tahun itu menunjukkan berbagai teknik dan trik memasak untuk tunanetra.
Baca Juga
Kisah Haru Mbah Wasiran Muadzin Tunanetra di Panggang Gunungkidul, Siapa Mau Bantu?
British Council Indonesia Dukung Tac_Tiles, Produk Inklusif Bagi Tunanetra dari Campuran Limbah Puntung Rokok-Plastik
Museum Nasional Rayakan Hari Disabilitas Internasional, Gelar Pekan Inklusivitas dengan Kuota Peserta Terbatas
Dilansir dari Disabilityscoop, chef Regina menjadi buta saat menginjak dewasa. Ia mengajar memasak melalui organisasi yang berbasis di Nevada, Blindconnect dan program berbasis keterampilan hidup, Angela's House. Pada hari Rabu pertama dan kedua setiap bulan, ia akan tampil dari dapurnya di Las Vegas Valley.
Advertisement
Makanan dan memasak adalah area penting di mana penyandang disabilitas seringkali tidak terlihat atau terlewatkan. Tapi Mitchell dan pendukung lainnya bekerja keras untuk mengatasi masalah dengan menawarkan kelas dan sumber daya dan mengemukakan ide untuk membuat memasak dan resep dapat diakses.
Kelasnya dimulai dengan sungguh-sungguh. Meskipun sebagian besar prosesnya sebagaimana pada umumnya, seperti instruksi verbal, memotong, mengupas, mendidihkan masakan, dan sebagainya, namun ia menekankan keselamatan dan eksplorasi dapur melalui sentuhan dan penciuman.
“Saya mendorong Anda untuk merasakan perbedaan antara pati jagung, tepung, gula manisan,” katanya. Di lain waktu, saat mengupas sepotong jahe dengan sendok, ia mengingatkan peserta zoomnya untuk melatih indra peraba mereka, “Rasakan sebelum dikupas,” untuk lebih mengenalkan mereka dengan akar yang berkulit kasar. Ia menyarankan peserta menggosok rempah-rempah di tangan mereka untuk memudahkan mereka nantinya untuk diidentifikasi.
Perjuangannya untuk menjadi pengajar atas dasar kebutuhannya sendiri. Ia merasa terbantu dengan zoom untuk berkumpul dan menyapa orang lain. Karena ia merasa sebagai individu buta, mereka telah terisolasi.
Simak Video Berikut Ini:
Cinta memasak
Ia tumbuh di Compton, California. Ia belajar mencintai makanan dan memasak dari ibunya dan neneknya. Ditambah setelah kematian saudara kandungnya, ia mengandalkan beberapa hidangan untuk memberi makan keluarganya, yang awalnya menyajikan anchilada dan taco.
Setelah dia dan calon suaminya, Stan, bertemu di gereja, pasangan itu pindah ke Seattle tempatnya mendaftar di Seattle Culinary Academy. Setelah memasak dan berkonsultasi selama bertahun-tahun sebagai koki profesional, termasuk magang singkat dengan Emeril Lagasse dan Julia Child, ia pindah ke Las Vegas untuk sebuah pekerjaan.
Namun pada tahun 2011, ia mulai merasa sakit di matanya. Di hotel tempatnya bekerja, penglihatannya mulai berubah. Jalannya menjadi tidak stabil; ia merasa tidak seimbang. “Saya menyadari saya tidak memiliki gaya berjalan seperti dulu,” katanya.
Rekan-rekannya memperhatikan. "Saya harus meminta orang-orang di tempat kerja untuk membantu saya membaca beberapa hal." Selama beberapa bulan berikutnya, penglihatannya memburuk.
Ia akhirnya didiagnosis dengan panuveitis bilateral, suatu kondisi yang mempengaruhi lapisan tengah mata dan merampas penglihatan Regina. Dokternya tidak mengizinkannya kembali bekerja.
“Saya kehilangan penglihatan, saya kehilangan pekerjaan. Apa yang saya lakukan?" Isi perdebatan di pikirannya, sementara saat itu usianya sudah 50 tahun.
Apa yang ia lakukan sepertinya menjawab harapan seorang penulis tunanetra-rungu dan pembela hak-hak disabilitas yang tinggal di Lubbock, Texas, George Stern yang mengharapkan seseorang yang dapat memberi informasi tentang cara memasak. Stern cukup berkontribusi dengan menyediakan pemasangan ramp yang dapat diakses penyandang disabilitas. Sehingga menurut Stern, dapur dan ruang kuliner juga harus dirancang dengan mempertimbangkan akses.
Industri makanan, dari dapur hingga restoran hingga ruang pelatihan kuliner, masih terasa terlarang bagi mereka yang memiliki disabilitas, kata Stern. Ia ingat melamar pekerjaan di toko pizza tetapi ia diberitahu tidak akan bisa mengikuti langkahnya. Manajer restoran menunjukkan sikap: "Saya akan mengasumsikan apa yang dapat Anda lakukan berdasarkan apa yang saya anggap tidak dapat saya lakukan."
Sehingga Stern ingin menantang pemikiran tersebut, tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan penyandang disabilitas. “Yang terpenting adalah penyandang disabilitas dapat berkontribusi dengan cara yang tidak mereka pikirkan," katanya.
Rekan Stern, Danielle Montour, adalah spesialis teknologi asistif dan pembuat roti yang terlahir dengan retinoblastoma (suatu bentuk kanker mata). Menurutnya, ada ketakutan di komunitas terkait membiarkan penyandang disabilitas masuk ke dapur, khususnya di dekat pisau dan kompor. Meskipun kekhawatiran tersebut demi keselamatan penyandang tunanetra, namun menurutnya penyandang tunanetra sebenarnya hanya perlu pelatihan, bukan membatasi seperti itu.
Media pilihan Montour adalah memanggang, tetapi ia menemukan bahwa resep sering kali terlalu mengandalkan indikator visual. Ia menekankan perlunya metrik yang berbeda untuk kualitas dan kematangan.
“Saya tidak ingin tahu kapan sesuatu berwarna coklat keemasan. Jika satu-satunya indikator Anda adalah warnanya, saya akan mencari (resep lain). seperti apa baunya? Bagaimana rasanya? Bagaimana konsistensi krim pastry? Tak satu pun resep yang saya lihat memberi tahu saya apa yang seharusnya,” katanya, dikutip dari Disabilityscoop.
Mirip dengan apa yang dialami Regina yang terpaksa membuat penyesuaian di dapur sejak menjadi buta. Ia merasa terobati dari keterpurukannya setelah bertemu Raquel O'Neill, presiden Blindconnect, yang memperkenalkannya pada konsep keterampilan kebutaan, yang meliputi komunikasi, orientasi, dan hidup mandiri. Pada 2019, Mitchell mulai mengajar memasak dengan Blindconnect.
Karena kebutaannya, sehingga Regina menyampaikan kosakata dengan mendeskripsikan makanan seperti: Inilah yang akan Anda rasakan jika melakukannya dengan benar. Idenya ini ia kembangkan dari ingatannya sewaktu sekolah kuliner sebelum ia kehilangan penglihatannya. Saat itu, ia mendapat instruksi untuk menulis cara membuat roti lapis selai kacang dan agar-agar, yang tampak mudah namun membuat semua siswa gagal melaksanakannya.
Alasan tidak ada yang berhasil karena instruktur ingin para siswanya menulis seolah-olah orang yang mengikutinya tidak pernah membaca resep. Pengalaman itu menginformasikan filosofi pengajarannya dengan cara lebih deskriptif. “Saya berpikir, 'Ah, begitulah cara saya melakukannya. Aku akan mengambil pendekatan itu,'” katanya.
Perhatian terhadap detail itu meluas ke area lain juga. "Jika saya meninggalkan stasiun saya di luar pandangan kamera, saya memberi tahu mereka bahwa saya akan pergi. Aku sama sekali tidak ingin ada kehampaan saat mereka bersamaku. Saya ingin mereka selalu tahu apa yang saya lakukan," katanya.
Menurut Anna Moyer, pendiri Accessible Chef, meningkatkan keterampilan memasak dalam komunitas penyandang disabilitas intelektual memiliki manfaat yang sangat besar, termasuk mengurangi risiko kerawanan pangan, menciptakan peluang kerja, dan bahkan meningkatkan keterampilan membaca. Yang terpenting, hal itu menumbuhkan rasa penentuan nasib sendiri.
Yang terpenting, perubahan cara berpikir dalam masyarakat diperlukan. Kita harus menyesuaikan diri dengan mereka yang memiliki kecacatan dan memperkuat apa yang benar-benar merupakan hak asasi manusia, akses ke makanan sehat dan hak pilihan serta kemampuan untuk memilih apa yang kita makan setiap hari.
Advertisement