Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pasal di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mencantumkan disabilitas diyakini tak lagi relevan. Hal ini karena dalam perumusan, organisasi penyandang disabilitas dianggap tidak pernah dilibatkan sehingga berdampak kepada potensi stigma yang tinggi bagi penyandang disabilitas, dan kemudian menghadirkan ketidakadilan dalam hukum pidana di Indonesia.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan – PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, usulan pasal 38 dalam RKUHP perlu dihapus. Begitu pun dengan pasal 39 yang perlu direvisi, sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena memiliki hambatan mental dan hambatan intelektual tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Advertisement
(2) Penyidik wajib menghadirkan Ahli untuk menilai seseorang mengalami hambatan mental dan/atau hambatan intelektual pada saat melakukan tindak pidana sehingga dinilai tak mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
(Ahli yang dimaksud meliputi ahli medis, non medis, seperti psikiater, psikolog klinis, psikolog forensik).
Selain mengubah istilah "menderita" dengan "hambatan" disabilitas, Fajri juga menekankan penambahan poin a pada pasal 103 ayat (2) berupa habilitasi.
Simak Video Berikut Ini:
RKUHP disabilitas bermasalah
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti mengatakan RKUHP disabilitas ini bermasalah karena beberapa alasan.
"Penyandang disabilitas mental yang ditaruh di bawah pengampunan lenyap kecakapan hukumnya. Kedua, karena tidak ada batasan waktu maka seseorang yang ditaruh di bawah perwalian kehilangan kecakapan hukumnya bisa seumur hidup," katanya dalam webinar “Penyandang Disabilitas Bicara RKUHP : Membangun Pidana Materiil yang Sensitif Disabilitas”.
Belum lagi, lanjut Yeni, masalah kejiwaan yang dialami penyandang disabilitas psikososial (PDP) bersifat kambuhan. "Pada saat stabil, penyandang disabilitas sama saja dengan orang-orang lainnya."
"Walaupun PDP dalam kondisi stabil, berprestasi, cerdas, namun dia akan tetap kehilangan kecakapan hukumnya dan posisinya sama dengan anak-anak," jelas Yeni.
Advertisement
Penyandang disabilitas dianggap tidak cakap hukum
Akibatnya, kata Yeni, bila tidak berhati-hati dalam merumuskan kemampuan mempertanggungjawabkan tindakan, termasuk tindak pidana maka penyandang disabilitas mental (psikososial) akan berisiko dianggap tidak cakap hukum dan ditaruh di bawah pengampunan.
Yeni menjelaskan, pada pasal 38 misalnya, penderita disabilitas bisa dikurangi pidananya. Ini akan mempengaruhi kasus perdatanya.
"Seperti banyak penyakit fisik lainnya, gangguan jiwa bersifat kronik, kambuh-kambuhan. Orang dengan gangguan jiwa berat seperti psikosis sekalipun, tetap dapat berfungsi normal pada sebagian besar kehidupannya," katanya.
"Penetapan apakah seorang dengan disabilitas mental dikurangi atau dihapuskan hukuman, seharusnya tidak berdasarkan disabilitas mental yang dialami pada saat tindak pidana. Melainkan pada saat orang disabilitas mental tidak dalam kondisi relaps (kambuh) maka yang bersangkutan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya sama dengan yang lain," pungkas Yeni.
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Advertisement