Sukses

Intip Cara Penyandang Tunanetra Asal Sidoarjo Belajar Bikin Skenario Film

Koordinator komunitas disabilitas Lira Disability Care (LDC) Abdul Majid,S.E. menceritakan terkait ambisinya di bidang perfilman.

Liputan6.com, Jakarta Koordinator komunitas disabilitas Lira Disability Care (LDC) Abdul Majid,S.E. menceritakan terkait ambisinya di bidang perfilman.

Bagi penyandang tunanetra sepertinya, belajar membuat skenario film bukanlah perkara mudah. Namun, hal tersebut bukan alasan ia berhenti menekuni bidang yang diinginkan.

Sebagian besar sesi belajar dimulai dari menyimak materi-materi tentang bagaimana membuat sebuah skenario film yang berkualitas dengan cara berselancar di internet. Kemudian, menggali isi kepala dan menuangkannya dalam sebuah gagasan pokok skenario film di atas kertas kerja yang sudah tersedia.

Karena ide dasar, imajinasi, kreativitas, dan inovasi adalah hal yang sangat esensial untuk mengawali menulis sebuah skenario film, katanya. Semua hal tersebut banyak didapatkan dari pengalaman hidup, observasi, interaksi sosial dan banyak mengamati atau menonton film-film sebagai referensi atas sebuah cerita yang akan dikembangkan.

“Sekarang bayangkan melakukan semua itu, tetapi tanpa bisa melihat kertas kerja di depan Anda. Begitulah cara saya yang buta pengalaman, belajar menjadi penulis skenario film empat bulan lalu,” kata Majid dalam tulisan yang dibagikan kepada kanal Disabilitas Liputan6.com, ditulis Jumat (2/7/2021). 

Simak Video Berikut Ini

2 dari 4 halaman

Kesulitan yang Dihadapi

Setelah pindah dari Sidoarjo, Jawa Timur ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan untuk merintis karier, jurnalis lepas ini didiagnosis dengan degenerasi makula ketika berusia 23.

Degenerasi makula adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang memengaruhi sel-sel peka cahaya di belakang retina dan perlahan menggerogoti penglihatannya.

“Sekarang, jika saya mengulurkan tangan di depan mata, saya tidak bisa melihat jari saya lagi. Karena penglihatan saya terus terganggu, semakin sedikit hal yang secara fisik dapat saya tangani,” katanya.

Pria yang kini berusia 33 ingat bagaimana dia menghabiskan sebagian besar waktu dengan menulis sendirian dan merasa hasil karyanya tidak berkembang.

“Saya tidak tahu siapa pun yang mau berbicara dengan saya tentang hal-hal dasar dan saya tidak punya akses berhubungan dengan orang-orang yang terlibat di industri ini, karena saya tidak tahu siapa yang harus saya hubungi. Tapi saya sangat bertekad.”

“Tantangan terbesar, bukan tidak bisa melihat film-film secara utuh sendirian atau banyak mengubah-ubah cerita yang ditulis, tetapi akses kepada orang yang tepat,” tambahnya.

3 dari 4 halaman

Kesempatan Datang dari Ajang Film

Tantangan yang dihadapi tak serta-merta menyurutkan semangatnya. Pria yang akrab disapa Majid Uno dengan cepat mengambil keputusan mengirim ide dan skenario film sebagai syarat untuk mengikuti sebuah ajang bernama SCENE 2021: Masterclass pengembangan skenario film, televisi dan OTT yang dihelat oleh Direktorat Industri Kreatif Film, Televisi, dan Animasi Kemenparekraf bekerjasama dengan Persatuan Karyawan Film Televisi Indonesia.

Dari ajang inilah dia mendapatkan sudut pandang yang lebih luas terkait dunia pengembangan skenario film.

Pertama, dia harus mengikuti sesi wawancara dan asesmen lewat sambungan telepon yang dilakukan oleh panitia. Hal ini untuk memastikan kesiapannya mengikuti seluruh rangkaian acara SCENE 2021 Surabaya dengan cara yang disesuaikan sebagai calon peserta dari penyandang disabilitas.

Setelah itu, sama halnya dengan calon peserta yang sudah mendaftar Majid juga harus menunggu skenario filmnya dipilih oleh panitia sebagai 20 peserta yang berhak mengikuti SCENE 2021 di kota Surabaya.

Untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh para mentor, Majid menggunakan sebuah laptop yang sudah dipasang perangkat lunak pembaca layar untuk tunanetra (screen reader). Lebih jauh, para mentor senantiasa bersedia menjadi pembisik (whisper angel) untuk mendeskripsikan secara detail adegan demi adegan saat pemutaran materi yang harus menggunakan format video.

“Hal ini sangat menyenangkan dan mempermudah mengembangkan skenario ceritanya, karena skenario film adalah bahasa visual, kata Majid.

Setelah mengikuti acara tersebut, Majid kembali berapi-api untuk menulis skenario film. Sejauh ini dengan skenario filmnya, dia memperkenalkan figur-figur inspiratif, kisah perjuangan penyandang disabilitas dan mengusung spirit inklusif dalam industri kreatif film.

“Ke depannya harus lebih banyak lagi format film layar lebar, Televisi dan OTT yang disediakan secara inklusif agar juga dapat dinikmati oleh seluruh ragam penyandang disabilitas,” pungkasnya.

4 dari 4 halaman

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta