Sukses

Tak Bahaya Sama Sekali, Begini Proses Tes BERA bagi Anak yang Diduga Tuli

Disabilitas rungu atau Tuli bisa terjadi sejak anak dilahirkan. Anak yang mengalami gangguan pendengaran biasanya tidak merespons pada bunyi-bunyian di sekitarnya.

Liputan6.com, Jakarta Disabilitas rungu atau Tuli bisa terjadi sejak anak dilahirkan. Anak yang mengalami gangguan pendengaran biasanya tidak merespons pada bunyi-bunyian di sekitarnya.

Jika orangtua melihat ada perbedaan pada anak dalam masalah pendengaran, maka orangtua bisa membawa anak ke dokter. Pemeriksaan pun dapat dilakukan, salah satunya pemeriksaan Brainstem Evoked Response Aaudiometry (BERA).

Menurut penulis konten Ruang Mendengar, dr. Witha Novialy, BERA merupakan tes pendengaran untuk menilai integritas saraf pendengaran sebagai respons terhadap stimulus bunyi yang diberikan.

Namun, ada kabar bahwa tes ini berbahaya bagi bayi dan dikhawatirkan merusak pendengaran bayi.

Menanggapi kabar tersebut, Whita menjelaskan bahwa tes ini termasuk pemeriksaan yang mudah dan aman. Tidak ada risiko yang dapat ditimbulkan akibat prosedur pemeriksaan tes BERA.

“Sering banget nih jadi kekhawatiran Ayah dan Bunda ketika anak akan dilakukan suatu pemeriksaan, bahaya enggak ya? Ada efek sampingnya enggak ya? Di era digital seperti saat ini, dimana informasi sangat cepat menyebar, jangan sampai termakan hoaks ya ayah bunda,” tulis Witha mengutip Instagram @ruangmendengar, Selasa (10/8/2021).

2 dari 5 halaman

Simak Video Berikut Ini:

3 dari 5 halaman

Dilakukan Saat Anak Tidur

Witha menambahkan, tes BERA dilakukan saat anak sedang tidur. Jika anak tidak dapat tidur secara alami, dokter akan menyarankan untuk memberikan obat tidur (sedasi) yang sifatnya ringan.

Pada keadaan tertentu, anak dapat diberikan obat bius (anastesi). Tidak sembarangan, pemberian obat-obatan ini akan disesuaikan dengan kondisi anak dan berat badan. Kemudian dilakukan pemantauan hingga anak terbangun.

4 dari 5 halaman

Proses Tes

Tes BERA dilakukan dengan cara menempelkan sumbat kecil pada telinga atau memasangkan headphone dan menempelkan elektroda pada kulit dahi dan bagian belakang telinga, lanjut Witha.

Setelah itu, anak akan diberikan stimulus bunyi melalui sumbat telinga atau headphone, kemudian dinilai perubahan aktivitas listrik di otak setelah diberikan stimulus. Stimulus bunyi diproses melalui program komputer dan ditampilkan sebagai gelombang.

“Nah jadi enggak berbahaya sama sekali ya Ayah Bunda. Jadi jangan sampai termakan hoaks ya,” tutup Witha.

5 dari 5 halaman

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas