Sukses

Akankah Paralimpiade Tokyo 2020 Membawa Perubahan?

Saat Paralimpiade dimulai, upaya Jepang untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusi menjadi sorotan, dengan banyak pihak berpendapat masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Liputan6.com, Jakarta Pakar dan aktivis hak-hak disabilitas memiliki banyak gambaran tentang situasi di Jepang. Saat Paralimpiade dimulai, upaya Jepang untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusi menjadi sorotan, dengan banyak pihak berpendapat masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Dilansir dari Gulfnews, sekitar 4.400 atlet penyandang disabilitas akan bertanding di Tokyo pada turnamen parasport terbesar di dunia. Tak hanya menjadi tempat bersejarah dalam bidang olahraga bagi penyandang disabilitas, tetapi juga akan mengubah sikap orang-orang terhadap penyandang disabilitas, tak terkecuali penyelenggara acara.

"Ini adalah acara yang berharga. Mereka melakukan hal-hal hebat tetapi mereka bukan manusia super. Saya ingin orang-orang tahu bahwa mereka adalah manusia seperti Anda," kata Masaaki Suwa, seorang penerjun kano Jepang yang gagal ikut bertanding.

Bagi pria berusia 35 tahun tersebut, ini merupakan momen pahit mengingat harapannya bisa bertanding mewakili kampung halamannya, namun ia berharap paralimpiade dapat memberi dampak positif bagi masyarakat Jepang.

“Saya berharap (Paralimpiade) menjadi batu loncatan yang memungkinkan orang untuk hidup lebih dekat dengan penyandang disabilitas,” kata Suwa yang menggunakan kursi roda.

 

2 dari 4 halaman

Pengembangan aksesibilitas bagi difabel

Upaya khusus telah dilakukan dalam sistem kereta raksasa Tokyo, dengan lift yang beroperasi di sekitar 96 persen stasiun pada 2019, kata pemerintah kota. Pada tahun 2019, 82 persen stasiun kereta bawah tanah Tokyo juga memiliki gerbang peron untuk menjaga penumpang tunanetra dan lainnya tetap aman.

Lalu hotel baru dengan lebih dari 50 kamar juga diharuskan membuat setidaknya satu dari setiap 100 kamar bebas hambatan.

"Dalam hal jumlah fasilitas bebas hambatan, Jepang tampak maju," kata Miki Matheson, wakil kepala delegasi Paralimpiade Jepang. Tetapi bagi peraih medali emas Paralimpiade tiga kali tersebut, yang merupakan asal Kanada dan untuk sementara menetap di Jepang untuk Olimpiade, mengatakan aksesibilitas tidak sama dengan inklusi.

"Saya sering diperlakukan sebagai penyandang disabilitas ketika saya kembali ke Jepang. Sementara di Kanada, saya hidup tanpa menyadari disabilitas saya sama sekali," kata Matheson, yang merupakan pengguna kursi roda, dikutip dari gulfnews.

Aktivis tersebut mengatakan tempat kerja adalah contoh dari hambatan yang tersisa. Di bawah peraturan pemerintah, pekerja penyandang disabilitas harus menjadi setidaknya 2,3 persen staf di semua perusahaan. Perusahaan yang lebih besar menghadapi denda karena ketidakpatuhan.

Pada tahun 2018, pemerintah terpaksa meminta maaf karena secara rutin melebih-lebihkan jumlah penyandang disabilitas pada stafnya untuk memenuhi kuota.

Adapun Motoaki Fujita, profesor sosiologi olahraga di Universitas Nihon Fukushi dan pakar parasport, mengatakan Jepang telah menjadi lebih inklusif, tetapi perubahannya masih kecil. Sekitar 57 persen orang yang disurvei oleh tim Fujita tahun lalu mengatakan mereka pasti atau agak percaya bahwa penyandang disabilitas itu lemah dan mengalami kesulitan hidup dengan orang yang bukan penyandang disabilitas. Itu hanya sedikit kurang dari 61 persen yang merasakan hal yang sama dalam jajak pendapat tahun 2014, jelasnya, dikutip dari gulfnews.

 

3 dari 4 halaman

Katalisator paralimpiade

Paralimpiade Tokyo akan berlangsung hampir tanpa penonton karena aturan virus, yang dikhawatirkan dapat menumpulkan dampaknya terhadap masyarakat Jepang.

"Paralimpiade adalah kesempatan yang sangat baik untuk mengubah pemikiran orang. Tapi kami tidak bisa tidak berpikir bahwa momentumnya bisa turun jika orang tidak bisa menontonnya secara langsung," kata Shigeo Toda, kepala lembaga penelitian yang berbasis di Tokyo yang mempelajari gaya hidup penyandang disabilitas, dikutip dari gulfnews.

Sementara Saki Takakuwa, seorang pelari Paralimpiade yang bertanding dengan prostetik blade khawatir tentang efek larangan penonton.

"Saya tahu orang-orang akan menonton Olimpiade di TV, tetapi saya bertanya-tanya bagaimana mereka akan merespons," katanya, dikutip dari Mainichi Shimbun daily.

"Dibandingkan dengan Olimpiade sebelumnya, sulit bagi saya untuk memiliki harapan bahwa orang akan merasakan sesuatu," tambah petenis berusia 29 tahun, yang mengikuti Paralimpiade ketiganya.

Adapun Presiden Komite Paralimpiade Internasional Andrew Parsons mengakui larangan penonton merupakan sebuah tantangan, tetapi juga berpendapat kalau siaran langsung akan menggapai miliaran orang di seluruh dunia.

"Pertandingan itu sendiri adalah katalis. Ini adalah momen ketika orang melihat atlet beraksi, dan saat itulah perubahan ini benar-benar terjadi. Di Jepang, masih banyak kemajuan yang harus dicapai. Tapi kami percaya bahwa kami sudah mulai melihat perubahan," katanya.

4 dari 4 halaman

Infografis Bonus Atlet Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020.