Sukses

Lika-Liku Penyandang Autisme dalam Mendapat Pendidikan yang Tepat

Pendidikan adalah hak semua anak Indonesia tak terkecuali yang menyandang disabilitas. Namun, pada kenyataannya anak-anak disabilitas masih menghadapi kesulitan untuk diterima di sekolah.

Liputan6.com, Jakarta Pendidikan adalah hak semua anak Indonesia tak terkecuali yang menyandang disabilitas. Namun, pada kenyataannya anak-anak disabilitas masih menghadapi kesulitan untuk diterima di sekolah.

Seperti yang dialami Endang Setyawati (33), seorang ibu asal Jakarta yang memiliki anak dengan autisme, Jerrico Jefa Alif Setyawan.

Menurut Endang, Jefa sempat masuk PAUD, tapi ia tidak bisa diam dan sering mencoret-coret apapun sesuka hatinya. Di TK pun sama, Jefa tak bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan sering membuat teman-temannya menangis.

“Saat TK Jefa sering menggigit, memukul, mendorong temannya. Bahkan sering membuat kejutan yang membuat saya mengucapkan kata maaf kepada orangtua murid lainnya,” ujar Endang melalui keterangan tertulis, Rabu (8/9/2021).

Melihat sang buah hati yang banyak membuat masalah, Endang pun memutuskan untuk mengeluarkannya dari TK. Perilaku Jefa yang tak seperti anak seusianya membawa kecurigaan tersendiri pada kondisi disabilitas.

Jefa pun dirujuk ke rumah sakit dan dinyatakan menyandang autisme sekitar satu tahun sebelum masuk SD.

“Saya tahu Jefa menyandang autisme saat ingin masuk SD. Setahun sebelum masuk SD saya bergegas mengurus Jefa. Memeriksakannya ke dokter spesialis anak dan psikolog anak.”

Setelah mengetahui kondisi tersebut, Endang memutuskan terapi okupasi dan wicara secara rutin di rumah sakit untuk buah hatinya selama satu tahun.

2 dari 4 halaman

Tiba Masa Pendaftaran SD

Kesulitan mendapatkan pendidikan pun mulai terasa saat masa pendaftaran SD dimulai. Endang ingin anaknya bersekolah di sekolah inklusif.

“Saya pun pergi ke sekolah tersebut dan mendaftar dengan membawa semua persyaratan untuk anak spesial ada tes IQ, ada surat keterangan dokter. Saya ingin sekali Jefa bisa sekolah inklusi sesuai arahan dokter.”

“Tapi apalah daya Jefa ditolak dari SD tersebut dan pihak SD menyarankan agar Jefa sekolah di SLB. Mendengar kata SLB saya langsung syok dan menangis sedih. Bagaimana mungkin saya tega memasukan Jefa ke SLB sedangkan Jefa bisa bicara jelas lancar, bisa membaca, dan menulis.”

3 dari 4 halaman

Mencari SLB

Mau tak mau, Endang akhirnya mengikuti saran guru SD tersebut untuk mencari SLB.

Setibanya di SLB, guru di sana mengatakan bahwa saat tes, Jefa cukup pintar dan masih nyambung jika diajak bicara. Guru itu pun menyarankan Jefa untuk tidak dimasukkan ke SLB.

“Kasihan jika anak pintar dimasukkan di sini," kata guru SLB.

Endang semakin bingung dan memutuskan untuk cerita pada RT. Ia pun disarankan untuk datang ke Suku Dinas Pendidikan dengan membawa Jefa.

Di Suku Dinas Pendidikan, Endang dan suami langsung mengutarakan kesulitannya mencari sekolah yang tepat untuk anaknya yang menyandang autisme.

Pihak Suku Dinas Pendidikan mengatakan bahwa setiap sekolah wajib menerima murid spesial setidaknya dua anak dalam satu kelas.

Pihak Suku Dinas Pendidikan pun melakukan tes pada Jefa dan melihat ternyata anak yang kini berusia 11 itu pintar. Pihak tersebut akhirnya mendaftarkan Jefa ke sekolah inklusi dekat rumah Endang.

Selama kegiatan belajar mengajar, Endang selalu duduk di samping Jefa untuk mendampinginya belajar sesuai arahan Suku Dinas Pendidikan.

“Saat kelas 1 SD, Jefa sering sekali menggigit tangan gurunya sampai guru pun teriak menjerit. Jika lengah dari pandangan mata saya, Jefa langsung lari kemana-mana dan tak jarang pula menjahili temannya.”

Seiring berjalan waktu, Jefa dapat tumbuh dengan baik. Kini di usia 11 ia cenderung lebih tenang, pandai membaca, menulis, menghitung, bahkan menghafal Al-Quran hingga 47 surat mulai dari surat pendek hingga yang panjang.

 

4 dari 4 halaman

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta