Liputan6.com, Jakarta Menjadi orang tua bisa jadi sulit bagi siapa pun, tetapi menjadi orang tua penyandang disabilitas dapat membawa tantangan tambahan. Konsultan disabilitas, Emma Shepherd, yang memiliki dua remaja laki-laki, berbagi pengalaman, cerita lucu, dan nasihatnya tentang menjadi orang tua penyandang disabilitas.
Dilansir dari Disabilityhorizons, Emma menceritakan pengalaman pahit-manis membesarkan dua putranya, dengan menyebut dirinya zebra--maskot sindrom ethlers-danlos (EDS) dengan bangga.
"Saya menderita sindrom ethlers-danlos dan sepertinya itu memburuk saat saya hamil, karena hormon yang membuat Anda lebih fleksibel, untuk membantu kontraksi justru membuat persendiannya melonggar," tulis Emma. Ia juga menyebutkan kalau kini persendiannya disatukan dengan bantuan seperti selotip dan kawat gigi atau seperti diikat dengan plastik dan sedotan yang lengket.
Advertisement
Baca Juga
Â
Tentang Putranya
Saya memiliki dua anak laki-laki yang luar biasa, satu bernama Morgan yang berusia 17 tahun, dan tahu segalanya (sebagaimana pengetahuan anak diusianya) dan satunya lagi bernama Kirry yang baru berusia 14 tahun. Ia sebenarnya dipanggil Kieran, tapi saya tidak pernah memanggilnya seperti itu untuk beberapa alasan," tulisnya memperkenalkan putranya.
"Kirry lucu tapi murung dan cenderung malas. Morgan (Mo) adalah kebalikannya dan menjalani hidupnya seperti hantu Tasmania, dengan cepat berpindah tempat."
"Morgan memiliki ADHD dan kesulitan komunikasi sosial tetapi selalu memiliki bakat istimewa yang langka untuk membuat seseorang merasa sangat istimewa. Ia selalu menjadi kaki untuk saya. Ia adalah angin puyuh penghasil energi. Ia terus bergerak."
Emma menjeaskan bahwa kondisinya sangat menguras energinya (kelelahan adalah salah satu gejala EDS) dan itu membuatnya frustasi. Sebab, jelasnya, kepalanya mampu melakukan banyak hal namun tubuhnya tidak mendukung karena rasa sakit dan kelelahan.
"Ada saat-saat ketika saya duduk di sofa saya menonton Mo melompat-lompat saat berbincang dengan saya dan saya merasa lelah hanya dengan melihatnya."
Setelah Kirry lahir, Emma menjalani operasi lutu sekitar dua bulan kemudian. Sehingga ia menggunakan penyangga sambil menggendong bayi berusia dua bulan.
"Saya tidak bisa naik tangga ke tempat tidur dan ibu saya tidak bisa membantu saya, karena itu adalah waktu flu babi, dan karena ia adalah penjaga kakek saya, jadi tidak bisa keluar dan berkeliling." Sehingga ia tidur di sofa dengan keranjang bayi di sebelahnya. Namun ia jugga mengaku beruntung memiliki ibu dan ayah yang ada disana bersamanya kala itu.
Â
Advertisement
Saat-saat yang tak terlupakan dan menantang
Untuk kesulitan-kesulitan yang saya alami, ada banyak saat-saat yang tak terlupakan, lucu dan penuh perhatian, sama seperti keluarga lainnya, kata Emma.
Hal pertama yaitu saat ia menyewa skuter saat mereka pergi keluar bersama, yang menyadarkannya bahwa sudah saatnya ia mendapatkan kursi roda karena harus mengejar putranya.
Kini ia memiliki dua orang pelindung yang cukup sering memberi tahunya waktunya tidur atau tidak memaksakan diri sampai kelelahan, serta membuat secangkir teh atau bahkan menjadi kakinya dan mengajak anjingnya jalan-jalan.
Emma memiliki tiga anjing shih tzu bernama Willow, Pebbles dan Dudley, yang bukan hanya teman tetapi juga memaksanya untuk bangun dari tempat tidur di ppagi hari. Padahal Emma membawa mereka karena di buku panduan mereka adalah anjing 'berenergi rendah' yang menurutnya ideal baginya. Namun sepertinya mereka merasa seperti anjing penolong dan membuat mentalnya tetap di level normal.
Â
Sabar dan toleransi
"Menjadi orang tua difabel telah memaksa saya untuk memiliki kesabaran dan toleransi, bahkan ketika saya frustrasi. Itu tidak selalu mudah," jelasnya.
Ia menyebutkan ada suatu ketika saat akhir pekan, ia pergi ke tempat pembuangan sampah setempat.
Saat ia bertanya kepada salah satu staf untuk meminta bantuan karena tidak bisa memindahkan dan membawa sampah dengan menggunakan kursi roda, staf tersebut dengan nada tidak ramah dan mengangkat bahu mengatakan bahwa ia tidak bisa membantu. Sehingga ia kembali ke rumah dengan bagasi penuh dan menangis sepanjang perjalanan pulang.
Namun kemudian Morgan kembali ke tempat pembuangan sampah dan membantunya membuang sampah, sedangkan Kirry membelikannya sebatang cokelat sementara Emma duduk di sofa sepanjang hari sambil mencemooh dan mengasihani dirinya sendiri.
"Saya harus menerima bahwa saya tidak mandiri seperti yang saya kira. Semakin saya difabel, semakin saya membutuhkan bantuan. Dulu saya bisa melukis tetapi saya tidak bisa lagi melakukannya, karena tangan saya terlalu sakit dan saya tidak bisa terus bergerak atau berdiri. Anak laki-laki akan mengecat rumah musim panas untukku untuk ulang tahunku."
Â
Advertisement
Dukungan dari teman dan keluarga
Karena tidak ingin seenaknya mendapat keuntungan dari kemurahan hati orang lain, ia memutuskan membeli bantuan. Sebab saat ia mendatangi orang tuanya, ia menyadari bahwa sehebat apapun orang tuanya, usia mereka 30 tahun lebih tua darinya. Jadi ia merasa tidak pantas untuk selalu bergantung pada mereka.
Kini putranya bahkan sudah besar dan tidak perlu menggantikan popok mereka lagi. Ia juga merasa tidak enak jika terus meminta bantuan seorang teman untuk menjaga anak-anak atau membantunya dalam berbagai hal sementara ia tahu bahwa mereka juga pastii sudah lelah dan memiliki keluarga sendiri untuk diaga.
Intinya, ia sangat pberterima kasih kepada orang tua dan temannya atas bantuan mereka selama ini. Emma menyimpulkan bahwa mengasuh anak merupakan kerja keras, tidak peduli siapa Anda. Namun melakukannya sebagai orang tua difabel akan menjadi lebih sulit, tetapi itu tetap adalah pengalaman yang berharga. Ia jadi memiliki hubungan yang sangat dekat dengan putranya dan ia harap akan selalu demikian.