Liputan6.com, Jakarta Aktivis Tuli Surya Sahetapy membagikan edukasi terkait audism. Ia mengutip pengertian audism dari Tom Humphries, 1975 yang menerangkan bahwa audism adalah bentuk pemikiran seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar lebih superior dibanding orang Tuli.
Contoh-contoh sikap audism meliputi:
Advertisement
Baca Juga
- Tuli tidak mampu mencapai level orang dengar dalam berintelektual, berbahasa, berkarier, berkemampuan finansial, berkomunikasi dan lain-lain.
- Tuli tidak bisa jadi guru, pilot, pengacara, dokter dan lain-lain.
- Tuli tidak bisa menyetir mobil.
- Tuli tidak bisa kuliah.
- Tidak bisa berbicara, maka tidak punya masa depan.
- Bahasa Isyarat membuat orang malas berbicara.
- Tidak bisa berbaur dengan orang dengar.
- Tidak pakai alat bantu dengar, maka tidak sukses.
- Semua orang Tuli harus dipaksa latihan berbicara supaya pintar dan sukses.
- Banyak pemikiran lainnya yang menghambat kemajuan Tuli-HoH (hard of hearing) sendiri.
Belajar Bahasa Isyarat
Orang Audist
Orang-orang yang memiliki sikap diskriminatif seperti contoh di atas biasa disebut audist.
“Kenapa audism bisa seperti itu? Karena sistem pendidikan dan sosial memisahkan Tuli-HoH dan non disabilitas dalam kehidupan. Kebanyakan orang non Tuli-HoH baru memahami Tuli-HoH pada usia dewasa apalagi belajar bahasa isyarat,” tulis Surya dalam unggahan Instagramnya.
Putra penyanyi Dewi Yull ini juga menyampaikan penyebab dari kondisi audism pada seseorang, yakni:
- Tidak ada guru Tuli-HoH yang mengajarkan bahasa isyarat di sekolah umum.
- Tidak ada pertukaran pelajar di antara sekolah Tuli-HoH dan umum.
“Ini pernah saya usulkan justru dibilang ‘impossible’. Yes, ini sudah biasa. Biasanya orang dengar lebih mendengarkan orang dengar dibanding orang Tuli-HoH.”
Advertisement
Perkara Mensos
Terkait audism, baru-baru ini Menteri Sosial Tri Rismaharini mendapat kritik dari masyarakat penyandang disabilitas akibat tindakannya memaksa anak penyandang Tuli wicara untuk berbicara dalam sebuah acara.
Padahal, disabilitas yang disandang anak tersebut memang membuatnya tidak dapat berbicara walau dipaksa sekalipun. Tindakan ini kemudian mendapat tanggapan dari Surya.
Dalam akun Instagram pribadinya, Surya mengatakan bahwa tidak semua anak bisa berbicara. Ada beberapa faktor bicara pada anak yakni:
-Berdasarkan tingkat pendengaran.
-Investasi alat bantu dengar (ABD) yang nilainya puluhan hingga ratusan juta.
-Terapi wicara yang berkesinambungan yang biayanya tidak murah.
-Pendidikan luar biasa saat ini belum humanis.
Ketimbang memaksa anak yang tidak dapat berbicara untuk bicara, Surya menyarankan Risma untuk memberikan pilihan terkait cara apa yang paling tepat untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan anak tersebut.
“Seharusnya digantikan pertanyaan ‘Nak, mau sampaikan pakai apa? Boleh tulis boleh bahasa isyarat boleh berbicara dan lain-lain. Biar ibu yang belajar memahamimu’,” tulis Surya dikutip dari Instagram pribadinya, Kamis (2/12/2021).
“Tanyakan komunikasi mereka bukan kita menentukan komunikasi mereka demi kepuasan kita tanpa memahami kenyamanan mereka,” tambahnya.
Hindari Sikap Linguicism
Dari kejadian ini, Surya mengimbau masyarakat untuk menghindari sikap linguicism. Menurutnya, Linguicism merupakan pandangan yang menganggap pengguna bahasa Indonesia secara lisan lebih pintar daripada orang menggunakan bahasa isyarat.
“Bahasa isyarat merupakan bahasa ibuku, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bukan berarti saya tidak berkompeten sebagai warga negara Indonesia.”
“Mari rombak sistem sosial dan pendidikan yang kejam di Indonesia! Sebelum 2045.”
Advertisement