Sukses

Ahli Ungkap Keterkaitan Anoreksia Selama Kehamilan dengan Autisme

Wanita dengan anoreksia nervosa sebelum atau selama kehamilan memiliki peluang lebih besar untuk memiliki anak dengan autisme atau mungkin gangguan hiperaktif defisit perhatian (ADHD).

Liputan6.com, Jakarta Wanita dengan anoreksia nervosa sebelum atau selama kehamilan memiliki peluang lebih besar untuk memiliki anak dengan autisme atau mungkin gangguan hiperaktif defisit perhatian (ADHD).

Dilansir dari Spectrumnews, studi tersebut mengambil data dari hampir 53.000 anak yang lahir di Swedia antara tahun 1990 dan 2012. Sekitar 8.800 dari anak-anak tersebut lahir dari wanita dengan anoreksia, bulimia atau gangguan makan yang tidak ditentukan, seperti makan berlebihan atau kekurangan gizi, sebelum atau selama kehamilan.

Hasilnya menemukan bahwa mereka yang mengalami anoreksia selama kehamilan empat kali lebih mungkin memiliki anak autisme, dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah memiliki gangguan makan. Kemungkinan memiliki anak autisme adalah 80 persen lebih tinggi di antara wanita yang telah pulih dari anoreksia nervosa sebelum kehamilan.

"Memiliki sampel yang besar sangat penting, karena autisme hanya terjadi pada 1 hingga 2 persen anak-anak, dan gangguan makan juga jarang terjadi," kata Brian Lee, profesor epidemiologi dan biostatistik di Drexel University di Philadelphia, Pennsylvania. Menurutnya, dari segi metode, penelitiannya sebaik harapannya.

Studi ini dipublikasikan di JAMA Network Open pada bulan Januari.

 

2 dari 2 halaman

Penelitian menghubungkan banyak faktor

Dalam penelitian baru ini, para peneliti mengontrol sejumlah faktor yang terkait dengan autisme, termasuk tingkat pendidikan dan usia wanita saat melahirkan, serta jenis kelamin anak. Tapi hubungan antara anoreksia dan autisme tetap ada.

Tapi bahkan dengan kontrol sedemikian rupa, studi ini masih tidak dapat menetapkan apakah ada hubungan sebab akibat yang menghubungkan autisme dengan gangguan makan, kata ngla Mantel, seorang dokter-ilmuwan di Karolinska Institutet di Solna, Swedia, yang memimpin penelitian.

Untuk banyak anak dari wanita dengan gangguan makan, Mantel dan rekan-rekannya mengidentifikasi sepupu penuh dari pihak ibu, yang berbagi hingga 12,5 persen informasi genomik anak, untuk melihat apakah mereka memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita autisme. Ternyata tidak ada.

Mantel dan rekan-rekannya pun menyesuaikan tingkat autisme di antara sepupu, dan hubungan antara anoreksia dan autisme, khususnya, tetap ada. Menurut peneliti, perbandingan sepupu menunjukkn bahwa hubungan yang diamati tidak dalat dijelaskan oleh faktor keluarga, jelas Matel.

Sebaliknya, temuan menunjukkan faktor lingkungan, bukan genetik; misalnya anoreksia dapat menyebabkan perubahan dalam banyak biomarker metabolik dan endokrin yang mungkin berkontribusi terhadap autisme pada anak.

Sebuah studi tahun 2017 menemukan bahwa bayi dari wanita dengan gangguan makan aktif juga memiliki tingkat metilasi DNA darah tali pusat yang lebih rendah, khususnya dalam gen yang relevan untuk perkembangan saraf.

Tapi perubahan epigenetik seperti itu baru spekulasi dan akan membutuhkan penelitian lebih lanjut, kata Lee.

“Para penulis melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam mencoba untuk mengesampingkan apakah perancu genetik ikut bertanggung jawab. Saya pikir langkah selanjutnya mungkin adalah mencoba dan benar-benar menjelaskan hubungan ini. Apakah karena nutrisi yang kurang optimal? Apakah itu perubahan epigenetik? Apakah orang menggunakan obat yang berbeda sebagai respons terhadap gangguan makan? Itu satu hal yang harus ditindaklanjuti setelah penelitian ini,” kata Lee.