Sukses

Risiko Gangguan Pendengaran di Lingkungan TNI AD, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?

Penggunaan senjata-senjata berat dengan suara dentuman keras di atas 100 Desibel sangat berisiko pada gangguan pendengaran.

Liputan6.com, Jakarta Di Lingkungan militer, gangguan pendengaran belum menjadi atensi serius. Padahal trauma tempur yang terjadi pada Veteran perang baik di Amerika maupun di negara lain bukan masalah kehilangan atau kecacatan tubuh, tetapi kehilangan pendengaran atau gangguan pendengaran.

Disampaikan Dokter Spesialis THT Letnan Jenderal TNI Angkatan Darat Budi Sulistya, hal ini belum terungkap bahkan di dalam Kedinasan sehingga perlu menjadi perhatian.

"Salah satu jurnal menyatakan, hasil evaluasi pada pasien Veteran 970.000 mengalami hambatan berkaitan dengan klaim pendengarannya yang bisa bersifat Tuli Sensorineural maupun Tinnitus," kata dr Budi dalam WHD 2022 Noise Webinar 2, ditulis Sabtu (19/3/2022).

Di Amerika, lanjut dr Budi, budget untuk Veteran perang ternyata cukup besar sehingga pemeliharaan terhadap prajurit-prajurit atau Veteran perang ini relatif baik meskipun permasalahan pendengaran juga belum memperoleh perhatian yang serius. Bagaimana dengan Tentara Nasional Indonesia?

 

2 dari 3 halaman

Risiko gangguan pendengaran pada Prajurit TNI AD

"Di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, kami mengambil sampel tentang kebijakan bahwa ada keputusan Kasad berkaitan dengan petunjuk teknis pengertian menembak dan senjata berat maupun ringan," ujarnya.

Sampel di Pusat Pendidikan Artileri Medan digunakan karena menggunakan senjata-senjata berat dengan suara dentuman keras di atas 100 Desibel dan sangat berisiko pada pendengaran.

"Berkaitan dengan perlindungan (pendengaran) pada seorang prajurit, ini menarik karena seorang Prajurit itu harus tahu ini ledakan pistol ledakan SS1, SS2, F16 atau senjata yang lain, sehingga sering muncul sebuah gurauan kok nembak pakai tutup telinga nanti kan kamu nggak bisa membedakan ini senjata apa. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya program konservasi pendengaran yang terintegrasi di mana pimpinan juga bisa mengakses lebih lanjut bagaimana melindungi (pendengaran)," katanya.

dr Budi mengatakan, saat ini hampir 1,3 miliar orang mengalami gangguan pendengaran. Secara global, menempati urutan ke-13 penyebab yeas lived with disability (YLD).

Studi di AS melaporkan, tentara Amerika sendiri ada sekitar 9,7 persen (115.638 veteran) mengalami gangguan pendengaran dan 5,8 persen (69.326 veteran) dengan ketulian saraf. "Dan sekali lagi bahwa tinitus itu sendiri lebih menjengkelkan dibandingkan ketuliannya."

Dalam epidemiologi di negara kita ini, lanjut dr Budi, dokter Sigit Sasongko dalam tesisnya sudah mendapatkan adanya angka 23,5 persen bahwa prajurit penembak meriam di Pusdik Armed mengalami noise-induced hearing loss (aNIHL)/ trauma akustik.

"Demikian juga penelitian Dokter Nyilo Purnami dari FK Unair menemukan, pada Polri di pusat pendidikan Polri itu sekitar 15% dan di Bali sekitar 11% mengalami gangguan pendengaran akibat penggunaan senjata," kata dr Budi.

Di RSPAD pun pernah menyelenggarakan sebuah penelitian dengan menggunakan data sekunder yaitu prajurit berpangkat Kolonel ke atas, termasuk perwira tinggi dalam hal ini yang medical checkup RSPAD di tahun 2017, 43 persen sampel dari audiogram dalam setahun itu terdapat notes atau pakai pada frekuensi 4000 hertz bilateral ini menunjukkan bahwa ada permasalahan serius berkaitan dengan insiden noise indos hearing loss(notch) di kalangan militer yang perlu memperoleh perhatian.

"Jika dibandingkan, sebuah konser Rock itu kurang lebih 130 dB kemudian pesawat terbang dari jarak dekat itu ternyata 140dB, sedangkan senjata api laras pendek pistol itu 157dB, artileri ini cukup tinggi 159-162 desibel, kembang api yang besar dan jalan sekarang dekat 162 di sipil serta senjata laras panjang 190dB juga sangat beresiko untuk seorang tentara," jelasnya.

"Pada tentara Infanteri dan Artileri cukup tinggi risiko untuk mengalami tuli akibat bising. Seperti helikopter jenis QW 101 desibel kemudian tank jenis Abrams 97-100 2017 desibel kemudian Sniper 140 desibel dan granat 164 desibel.

Di Amerika, kata dr Budi, 23,9 persen prajurit diberhentikan dari dinas aktif militer akibat masalah pendengaran. "Coba seandainya 23,9 persen ini bisa dicegah, akan jauh lebih baik dan lebih manusiawi."

"Kehilangan pendengaran itu juga secara sepintas akan berdampak terhadap ketajaman menembak artinya kalau mempunyai pendengaran yang normal maka dengan lokasi targetnya akan lebih akurat dibandingkan yang gangguan pendengaran. Namun ini kemungkinan akan berdampak pada budget sistem kesehatan nasional maupun di lingkungan TNI maupun BPJS," katanya.

 

3 dari 3 halaman

Perkuat penelitian

Sejauh ini, TNI AD terus berupaya pada penguatan penelitian untuk memperoleh data yang evidence-based sehingga bisa membuat sebuah telaah yang objektif dalam program konservasi pendengaran.

"Ini yang sangat penting untuk steakholder kemudian kita juga menyarankan perlunya revisi petunjuk teknis latihan menembak, baik senjata ringan maupun senjata berat karena tadi kita lihat dampak ekonominya juga besar," katanya.

Selebihnya, saran dia, perlunya pemeriksaan berkala di kalangan prajurit maupun pada sangat seleksi pendidikan, pemeriksaan kesehatan prajurit sebelum berangkat penugasan ke Papua ke Kalimantan ke Aceh kemudian pasca penugasan juga harus dilakukan pemeriksaan kembali.

"Costing untuk pemeriksaan ini terpotong oleh pandemi COVID-19 pada 2020 sehingga dampaknya kualitas pemeriksaan agak sedikit berkurang dan untuk prajurit lebih banyak pemeriksaan fisik diagnostik dan pemeriksaan lab sederhana," ujarnya.

"Untuk kasus yang mengalami cedera pendengaran atau ketulian akibat latihan dan penugasan kita juga perlu menyiapkan untuk pemberian alat bantu dengar yang sesuai sesuai dengan keperluan dari para prajurit kemudian perlunya pembinaan personel yang sesuai dengan kebutuhan yang seharusnya," pungkasnya.

Video Terkini