Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas fisik di Indonesia menghadapi berbagai tantangan ketika hendak berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Hal ini dirasakan pula oleh Triyono yang menyandang polio sejak balita. Ia tahu betul betapa sulitnya penyandang disabilitas di Indonesia untuk pergi ke sekolah, ke tempat kerja, atau ke fasilitas kesehatan.
Baca Juga
“Ketika saya di sekolah, tidak ada bus yang berhenti untuk saya. Bergerak di sekitar itu merepotkan karena infrastrukturnya tidak ramah bagi penyandang disabilitas,” kata pria 40 tahun kepada CNA dikutip Minggu (15/5/2022).
Advertisement
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, terdapat 3 juta penyandang disabilitas fisik dan 3,4 juta penyandang disabilitas netra.
Orang-orang ini terus-menerus menghadapi tantangan untuk mobilitas karena bus tidak dirancang untuk mengakomodasi mereka. Sementara trotoar sering kali tidak ada, dibangun dengan buruk atau digerogoti oleh kendaraan pribadi.
Satu-satunya pilihan yang layak adalah menggunakan taksi, yang bisa mahal bagi penyandang disabilitas yang berasal dari latar belakang keluarga miskin.
Akibatnya, banyak yang tidak pergi ke sekolah pada saat mereka menjadi terlalu berat untuk digendong oleh orangtua atau saudara kandung mereka, sehingga menghalangi kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan formal.
Banyak yang menghabiskan sebagian besar masa remaja dan dewasa mereka tidak dapat menjelajah di luar batas-batas rumah mereka.
“Saya berpikir perlu ada sarana transportasi yang melayani teman-teman saya yang menggunakan kursi roda agar mereka dapat bergerak bebas, baik dari rumah ke sekolah, ke rumah sakit atau ke mana pun mereka memilih tanpa perlu naik dan turun kursi roda mereka yang bisa melelahkan,” kata Triyono.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Inovasi Difa Bike
Bertekad untuk mengubah ini, pengusaha yang sehari-hari menggunakan kruk dan kursi roda memulai Difa Bike, layanan ojek yang melayani penyandang disabilitas di kota kelahirannya Yogyakarta sejak 2014.
Difa Bike memulai layanannya setahun kemudian dan sekarang mempekerjakan 26 pengemudi, yang semuanya adalah penyandang disabilitas. Perusahaan ini memiliki antara 3.000 dan 4.000 pelanggan per tahun.
Meski perusahaan masih belum pulih dari dampak pandemi, Triyono yang memulai Difa Bike dengan uangnya sendiri, memiliki mimpi besar untuk perusahaan tersebut.
Ia berencana untuk memperluas layanan Difa Bike ke kota-kota lain di pulau Jawa dan Bali, provinsi-provinsi terpadat di Indonesia.
Difa Bike mengoperasikan dua jenis sepeda motor, salah satunya memiliki sidecar flatbed (mobil samping) dengan foldable ramp (jalan kursi roda) yang didesain khusus untuk pengguna kursi roda sehingga tidak perlu naik dan turun alat bantu mobilitas.
Yang lain memiliki sespan dengan kursi dan pintu lebar yang dirancang agar mudah diakses oleh orang-orang yang menggunakan kruk dan disabilitas netra.
Advertisement
Kata Pelanggan
Salah satu pelanggan Difa Bike, Lusi Insiati, Difa Bike sangat membantu seseorang yang menggunakan kursi roda sepertinya.
“Saya harus naik dan turun dari kursi roda saya ketika saya menggunakan taksi. Dengan Difa Bike, saya cukup duduk saja di kursi roda saya,” kata Lusi.
Wanita yang terkena polio itu mengatakan bahwa dia telah menjadi pelanggan Difa Bike secara teratur selama enam tahun terakhir.
Layanan ini tidak hanya bermanfaat bagi pelanggan tetapi juga pengemudi disabilitas yang mencari nafkah.
Pengemudi Difa Bike, Tri Hartanto, yang menyandang cerebral palsy (lumpuh otak) dan hampir tidak bisa berdiri tanpa alat bantu jalan, menghabiskan sebagian besar masa kecilnya digendong ayahnya atau diantar ke sekolah menggunakan sepeda motor.
Seiring bertambahnya usia dan berat badannya, ayahnya tidak bisa lagi menggendongnya atau membantunya naik ke sepeda motor.
Akibatnya, pria berusia 33 tahun itu tidak melanjutkan pendidikannya setelah menyelesaikan sekolah dasar, sehingga menghilangkan kesempatannya untuk bekerja secara formal.
Membantu Banyak Disabilitas
Tri mengatakan, selama sebagian besar masa remaja dan dewasanya, dia hampir tidak pernah keluar rumah.
Semua berubah di tahun 2015, ketika Hartanto bertemu dengan Triyono yang menawarkannya kesempatan untuk bergabung dengan Difa Bike.
“Bagian yang paling berharga (tentang pekerjaan saya) adalah saya bisa bertemu teman baru. Saya bisa bepergian ke mana pun saya mau tanpa membebani orang lain. Saya bisa mengunjungi tempat-tempat wisata di Yogyakarta yang sebelumnya hanya bisa saya bayangkan,” kata Hartanto kepada CNA.
Difa Bike secara eksklusif mempekerjakan penyandang disabilitas sebagai pengemudinya.
“Setelah muncul ide, saya juga menyadari bahwa mayoritas penyandang disabilitas memiliki pendidikan yang rendah. Bahkan banyak yang tidak sekolah.”
“Tidak ada yang mengantar mereka ke sekolah, sementara transportasi umum bisa mahal bagi mereka. Makanya mereka sulit mendapatkan pekerjaan formal,” kata Triyono.
Menurut Triyono, Difa Bike terbukti menjadi hit di antara sekitar 25.000 penyandang disabilitas yang tinggal di Provinsi Yogyakarta. Layanan ini juga menarik orang-orang berbadan sehat, terutama orang tua, wanita hamil dan wanita dengan anak-anak.
“Masyarakat biasa menggunakan Difa Bike karena kami menawarkan kendaraan roda tiga yang lebih aman, nyaman, dan lapang dibandingkan dengan sepeda motor roda dua dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan taksi roda empat,” ujarnya.
Perusahaan mengenakan biaya tetap kepada pelanggannya sebesar RP 2.500 per kilometer sementara layanan ride hailing berbasis aplikasi membebankan antara 3.500 dan 6.000 rupiah tergantung pada lokasi dan waktu.
Advertisement