Liputan6.com, Jakarta Kebiasaan merokok membawa berbagai dampak buruk bagi kesehatan bahkan bisa berujung pada kondisi disabilitas.
Menurut dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Feni Fitriani Taufik, kondisi disabilitas yang dapat timbul akibat kebiasaan merokok amat beragam.
Baca Juga
“Mulai dengan disabilitas dari proses berpikir, karena nikotin kan menyebabkan adiksi, harusnya orang bisa kreatif kapan saja tapi karena adiksi nikotin jadi merasa enggak bisa ngapa-apa tanpa rokok. Artinya, jadi merasa tidak percaya diri akibat efek adiksinya,” ujar Feni dalam konferensi pers PDPI Senin (30/5/2022).
Advertisement
Selain mengganggu pikiran, disabilitas lain yang bisa timbul adalah disabilitas fisik. Pasalnya, merokok meningkatkan risiko terjadinya kista. Kemudian, kondisi disabilitas yang bisa timbul dalam jangka panjang adalah kanker paru.
“Pasien kanker paru 80 persennya adalah orang yang merokok. Kanker paru sering ditemukan pada stadium yang sudah lanjut sehingga angka harapan hidup dan kesembuhan itu sangat-sangat kecil.”
Ada pula ancaman penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang dipicu asap rokok. Ini yang membuat kualitas hidup akan sangat terganggu.
“PPOK ini seperti asma, pengidapnya akan sesak tapi sesaknya seiring bertambah usia akan semakin sesak sehingga bisa sampai pada tingkat orangnya perlu oksigen terus-menerus. Untuk berjalan ke kamar mandi saja susah, artinya tentu kualitas hidupnya sangat rendah dan tergantung pada orang lain.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rokok di Indonesia
Feni menambahkan, penggunaan tembakau pada rokok di Indonesia menjadi penyebab utama kematian kedua di dunia. Rokok juga merupakan salah satu penyebab kematian yang dapat dicegah terhadap penyakit terkait rokok pada paru seperti bronkitis kronis, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), emfisema dan kanker paru.
“Selain itu, risiko pada organ lain seperti penyakit jantung koroner, stroke, risiko impotensi pada organ reproduksi dan memperburuk kondisi penyakit kronik yang sudah ada seperti diabetes melitus dan hipertensi.”
Angka kejadian penyakit ini mulai terdeteksi pada usia lebih dini yaitu 30-44 tahun sebesar 45 persen. Data menunjukkan semakin dini memulai kebiasaan merokok dengan usia rata-rata 17,6 tahun meningkatkan risiko penyakit terkait rokok pada populasi usia muda.
Data terbaru menunjukkan, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) penggunaan tembakau pada anak muda usia 13-15 tahun mencapai 33,8 persen pada total populasi dewasa usia di atas 15 tahun.
Survei oleh Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2018 juga menunjukkan, penggunaan tembakau pada anak muda mencapai 19,2 persen dari populasi dengan dominasi remaja putra.
Advertisement
Rokok Elektronik
Data merokok terbaru dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 di Indonesia menunjukkan bahwa 19,2 persen pelajar merokok terdiri dari 35,5 persen laki-laki dan 2,9 persen perempuan.
Survei ini mendapatkan dua pertiga dari mereka dapat membeli rokok secara ecer tanpa ada hambatan.
Penggunaan produk rokok lainnya seperti bentuk rokok elektronik semakin banyak digunakan di Indonesia pada kalangan dewasa, anak muda bahkan anak-anak.
Sehubungan dengan hal ini, PDPI memberikan informasi dan meluruskan anggapan bahwa rokok elektronik adalah pengganti rokok konvensional. Anggapan ini keliru karena sebetulnya rokok elektronik memiliki bahaya kesehatan yang sama dengan rokok konvensional.
Rokok elektronik juga tidak direkomendasikan sebagai alat bantu berhenti merokok karena memiliki risiko mencetuskan adiksi yang sama dengan rokok konvensional.
Zat kimia berbahaya pada rokok elektronik berada pada cairan/liquid yang dipanaskan mengandung nikotin, propilen glikol dan gliserin.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh RS Persahabatan mendapatkan bahwa pada urine perokok elektronik terdapat kadar residu nikotin yang kadarnya sama dengan urine perokok konvensional. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa rokok elekronik tidak aman.
Rokok Heat Not Burn
Selain rokok konvensional dan rokok elektronik atau vape, ada jenis rokok baru yang mulai dikenalkan kepada masyarakat yakni rokok yang dipanaskan atau Heat Not Burn (HNB).
Menurut Feni, produk tembakau yang dipanaskan walaupun secara praktiknya tidak mengandung asap tapi pada prinsipnya tetap memiliki unsur tembakau.
Semua bentuk metabolisme tembakau akan menghasilkan nikotin yang menstimulasi otak dan menyebabkan candu atau adiksi. Selan itu, berbagai hasil residu rokok elektronik dalam bentuk logam dan partikel masih memiliki risiko jangka panjang yang bersifat karsinogenik.
“Imbauan kepada masyarakat yang memiliki kebiasaan merokok dengan mempertimbangkan faktor kesehatan bukan hanya pada perokok itu sendiri tetapi juga lingkungan sekitar perokok seperti keluarga.”
Perokok pasif memiliki ancaman risiko kesehatan terdampak rokok juga hal ini pernah ditemukan dalam penelitian pada anggota keluarga yang kontak erat dengan perokok. Kadar residu nikotin yaitu kotinin urine meningkat lebih besar dibandingkan yang tanpa kontak dengan perokok.
Advertisement