Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan. Bukan pendidikan biasa, berbagai kondisi khusus yang dimiliki membuat para difabel membutuhkan pendidikan yang khusus pula.
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena perbedaan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Baca Juga
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, penyandang disabilitas harus mendapatkan hak layanan pendidikan yang bermutu. Ini perlu berlaku pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Advertisement
Menurut Muhadjir, hal itu sesuai dengan pesan Presiden RI Joko Widodo pada Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021, bahwa "Komitmen dan layanan terhadap disabilitas merupakan ukuran terhadap kemajuan peradaban sebuah bangsa."
Penegasan itu disampaikannya saat menyampaikan sambutan dalam International Conference On Special Education In South East Asia Region (ICSAR) 12th Bali, secara daring, pada Senin (6/6).
"Penyandang disabilitas harus mendapatkan hak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan secara inklusif dan khusus," ujar Muhadjir mengutip keterangan pers Kamis (9/6/2022).
Selain hak sebagai peserta didik, Muhadjir menjelaskan, penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama baik sebagai penyelenggara pendidikan, pendidik, tenaga kependidikan, maupun peserta didik.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Telah Diatur Undang-Undang
Menurut dia, hal itu telah diatur dalam UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan PP nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
"Bahkan untuk menguatkan regulasi tersebut telah diterbitkan pula Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN PD) sebagai Instrumen Perencanaan dan Penganggaran dalam rangka Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas," ucapnya.
Menurut data statistik, angka kisaran disabilitas anak usia 5-19 tahun adalah 3,3 persen. Sedangkan jumlah penduduk pada usia tersebut pada 2021 adalah 66,6 juta jiwa. Dengan demikian jumlah anak usia 5-19 tahun penyandang disabilitas berkisar 2.197.833 jiwa.
Kemudian, data Kemendikburistek cut off Agustus 2021 menunjukkan jumlah peserta didik pada jalur Sekolah Luar Biasa (SLB) dan inklusif adalah 269.398 anak.
"Dengan demikian persentase anak penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan formal baru sebesar 12.26 persen. Artinya masih sangat sedikit dari yang seharusnya dilayani," ujarnya.
Muhadjir menambahkan, layanan sekolah inklusif saat ini masih menghadapi tantangan dari lingkungan sekolah seperti masih ada penolakan dari sebagian orangtua/masyarakat dan pelecehan terhadap penyandang disabilitas.
Advertisement
Kendala Sekolah Inklusif
Selain itu, terbatasnya Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berkompeten, kemampuan dalam adaptasi kurikulum dan pembelajaran yang masih rendah serta belum maksimalnya ketersediaan media pembelajaran yang aksesibel juga menjadi kendala tersendiri.
Di sisi lain, ada pula tantangan sistem dukungan yang belum maksimal, belum optimalnya ketersediaan dan akurasi data Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Pusat Layanan Identifikasi dan Asesmen dan Kebijakan Afirmatif yang belum menjangkau seluruh daerah.
Karena itu, Muhadjir menekankan komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah untuk pembudayaan pendidikan inklusif pada seluruh lapisan masyarakat. Baik lingkup pengambil kebijakan, lingkup sekolah, masyarakat dan keluarga, pemenuhan tersedianya Guru Pembimbing Khusus di SLB dan sekolah inklusif serta memiliki kompetensi kekhususan.
Pihaknya juga mengupayakan terpenuhinya media pembelajaran yang aksesibel, penguatan identifikasi dan asesmen Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), penyediaan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta dukungan penerbitan regulasi untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif pada pemda.
Menjadi Setara
Senada dengan Muhadjir, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar mengatakan bahwa seperti anak lainnya, anak disabilitas juga berhak mengenyam pendidikan.
“Setiap anak, tanpa memandang keterbatasan yang dimilikinya harus dibekali dengan kemampuan, agar dapat berperan dengan maksimal, termasuk anak penyandang disabilitas,” kata Nahar dalam seminar daring KemenPPPA Rabu (24/2/2022).
Menurutnya pemenuhan hak pendidikan bagi anak disabilitas dapat dilakukan melalui pemberian akses pada sistem pendidikan khusus maupun sistem pendidikan inklusif.
Nahar tak memungkiri bahwa upaya pemenuhan hak bagi anak penyandang disabilitas memang masih terbentur dengan berbagai kendala. Namun, pemerintah terus berupaya mewujudkan pendidikan yang ramah bagi semua anak.
Dengan terpenuhinya hak tersebut, maka anak-anak penyandang disabilitas akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi setara dengan masyarakat lainnya.
Hak pendidikan bagi anak disabilitas misalnya yang menyandang autisme sudah diatur dalam peraturan perundangan.
“Ini artinya pemerintah wajib memfasilitasi sarana dan prasarana untuk memenuhi hak anak autisme dalam memenuhi kebutuhannya dalam bidang tersebut,” kata Nahar.
Advertisement