Liputan6.com, Jakarta Bagi orangtua, mungkin bukan hal mudah menerima kondisi anak dengan spektrum autisme (ASD), maupun Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Namun untuk mematahkan stigma yang muncul di masyarakat, orang tua sebaiknya menjalani 4 tahapan penerimaan diri terlebih dahulu.
Dokter spesialis perkembangan anak dan sensory integration Rudianto Sofwan SpKFR, CASI, mengatakan, orang tua terkadang penerimaannya masih kurang terhadap anak sendiri.
Baca Juga
“Seperti denial. Saya bercerita, ada lho neurodivergent people di dunia ini. Jadi kalau kita mau masyarakat mengenal kita, orang tua juga perlu membuka diri mengenai kondisi anak,” katanya dalam acara Embracing Autism & ADHD How to Break the Stigma, ditulis Senin (27/6/2022).
Advertisement
Meski begitu, dr Rudi paham bahwa penerimaan diri orang tua pada kondisi anak butuh proses panjang. “Kalau secara psikologi, ada tahapan penerimaan.”
“Tahap pertama, denial. Ada orang tua yang menyangkal bahwa anak saya bukan autisme kok. Padahal kita bisa mengenalkan bahwa dia memang anak autisme. Hanya banyak orang tua yang menutupi, dan tidak menerima,” jelasnya.
“Lalu, muncul stage kedua, marah. Kenapa anak saya bisa autisme, kenapa anak saya bisa begitu,” katanya lagi.
“Fase ketiga mulai bergaining, tawar menawar. ‘Kayaknya anak saya bukan autisme deh'. Dan fase keempat, depresi. Kenapa saya punya anak autisme, misalnya. Lalu terakhir fase penerimaan. Ini wajar dilewati semua orang,” katanya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Lewati proses penerimaan dengan cepat
Menurut dr Rudi, bagi sebagian orang butuh waktu lama hingga proses penerimaan itu akhirnya dicapai. Namun ada juga yang melaluinya dengan cepat.
“Tolong lewatin fase tersebut dengan cepat sehingga membantu anak berkembang lebih baik,” ujarnya.
Proses penerimaan diri ini juga, kata Rudi, dapat membantu masyarakat bisa mengenal kondisi anak sehingga bisa mengurangi stigma yang muncul.
“Bagaimana kita bisa break stigma kalau kita enggak mau membuka diri. Kuncinya, menerima anak apa adanya. ASD dan ADHD just the label. Makin lama nolak, makin susah bagi orangtua untuk menangani anak," katanya.
Advertisement
Tanda awal autisme pada anak
Dikutip Forbes, sesuai kriteria diagnostik DSM-5 untuk autisme, seorang anak harus menunjukkan defisit dalam bidang komunikasi dan interaksi sosial berikut:
• Timbal balik sosial-emosional, seperti tidak menanggapi atau bereaksi terhadap interaksi sosial atau kegagalan untuk terlibat dalam percakapan bolak-balik yang khas
• Perilaku komunikatif nonverbal yang digunakan untuk interaksi sosial, seperti perbedaan kontak mata atau bahasa tubuh atau kurangnya ekspresi wajah
• Pengembangan, pemeliharaan, dan pemahaman hubungan, seperti tantangan dalam terlibat dalam permainan imajinatif atau kurangnya minat pada teman sebaya
Selain itu, anak juga harus menunjukkan setidaknya dua dari empat jenis perilaku terbatas dan berulang berikut untuk menerima diagnosis autisme:
• Gerakan motorik stereotip atau berulang, penggunaan objek atau ucapan, seperti menyusun mainan atau pengulangan kata-kata orang lain yang tidak berarti
• Desakan pada kesamaan dan kepatuhan yang kaku pada rutinitas, atau pola perilaku ritual yang verbal atau nonverbal, seperti makan makanan yang sama setiap hari atau melakukan ritual di sekitar salam
• Minat yang sangat terbatas dan terpaku yang luar biasa intens atau terfokus, seperti keasyikan dengan objek tertentu
• Kurang atau terlalu responsif terhadap input sensorik atau minat yang tidak biasa pada aspek sensorik lingkungan mereka, seperti sentuhan berlebihan pada objek atau reaksi yang merugikan terhadap suara tertentu.
Lebih lanjut, mungkin saja anak-anak yang tidak autisme menunjukkan beberapa dari tanda-tanda ini juga, itulah sebabnya evaluasi oleh seorang profesional medis sangat penting.
Sulit dideteksi
Sementara itu, dikutip Klikdokter, mendeteksi autisme bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan pemeriksaan oleh beberapa dokter ahli, di antaranya dokter spesialis anak dan psikiater. Selain itu, kondisi ini juga tak dapat langsung diketahui hanya dengan sekali kunjungan.
Jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa anak mengidap autisme, terapi yang rutin dan terstruktur sangat perlu untuk dilakukan. Hal ini bertujuan agar anak autis tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Berikut beberapa terapi autisme pada anak yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics (AAP):
● Behavioral training
Anak akan diajarkan untuk bisa mandiri, belajar berinteraksi dengan orang lain, dan belajar untuk mengekspresikan apa yang sedang dirasakannya.
● Terapi wicara, terapi fisik, dan terapi okupasi
Ketiga jenis terapi ini merupakan hal yang penting dan wajib dilakukan dalam membantu anak autis untuk bisa berkembang dengan baik.
Terapi wicara bermanfaat untuk membantu anak agar tak lagi mengalami keterlambatan bicara dan mampu berkomunikasi dengan baik. Terapi fisik dan okupasi bermanfaat untuk mengatasi dan memperbaiki gangguan motorik serta gangguan koordinasi.
● Support group
Bergabung dengan support group juga tak kalah pentingnya. Selain saling mendukung satu sama lain, melalui grup ini, masing-masing anggotanya juga bisa belajar dan bertukar pengalaman dalam membesarkan anak yang mengalami autisme.
● Obat-obatan
Obat tidak menyembuhkan dan tidak mengurangi gejala autisme. Namun, pengidap autisme sering mengalami gangguan tidur, cemas, atau depresi. Obat-obatan diberikan untuk mengatasi keluhan-keluhan tersebut.
Autisme pada anak bukanlah akhir dari segalanya. Lakukanlah deteksi dini dan terapi secara paripurna, agar anak yang mengidap kondisi ini bisa tetap memiliki tumbuh kembang yang optimal.
Advertisement