Liputan6.com, Jakarta Setiap orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anak. Terlepas apakah ia neurodivergent. Begitu pula yang dialami Rudy Purwono, ayah dari Vincent Prijadi Purwono (18), remaja autisme yang ternyata sangat berbakat melukis dan kini telah memiliki puluhan karya seni.
Rudy menceritakan proses pencarian jati diri Vincent bukan melalui proses yang mudah. Ada masa-masa ketika ia dan istrinya sangat sedih saat mengetahui Vincent yang special need.
Baca Juga
“Mental kita diuji dulu. Cuma waktu ada berita autis itu, saya dan istri sepakat bahwa ini yang sudah terjadi. Kita harus bisa mengembangkan apa yang ada pada anak,” katanya dalam acara Embracing Autism & ADHD How to Break the Stigma, ditulis Rabu (29/6/2022).
Advertisement
Rudy mengatakan, ia sempat berpikir bahwa autisme merupakan penyakit. Namun seiring waktu berlalu, ia melihat ada orang-orang yang memiliki pola pikir berbeda. Ia pun beranggapan, autisme itu tidak fair bila dikatakan sakit karena tidak ada obatnya. Namun bagaimana menyikapi kondisi tersebut.
Dari situ, Rudy mulai optimis sebagai orangtua karena bagaimana pun menurutnya memiliki anak typical atau atypical harus bisa mengayomi anak agar bisa berkembang sesuai kemampuannya.
Rudy mengatakan, Vincent dari kecil masuk sekolah formal. Namun memang autisme membuatnya kesulitan konsentrasi waktu membaca.
“Kita harus percaya, anak punya kemampuan. Jadi kalau dia kesulitan, jangan dibiarin,” ujarnya.
Sejak itu, ia pun mulai memperhatikan pola belajar dan bermain Vincent. “Kita pelajari tingkat konsentrasi anak. Jadi kalau di sekolah, dia cuma konsen 5 menit. Tapi kalau menggambar bisa 2 jam dan sanggup diulang-ulang. Jadi kami pikir, itu kesukaan dia.”
Rudy beranggapan, dari pengalamannya, mencari bakat anak bisa diobeservasi sejak anak usia 6-12 tahun. Setelah itu, ketika usia 13 tahun, bisa difokuskan bakatnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Keluar sekolah formal
Keputusan untuk mengeluarkan Vincent keluar sekolah formal pun dipertimbangkan betul-betul. Namun kata Rudy, sekolah formal seringkali membuat anaknya justru sering stres. “Dia bisa menyakiti diri sendiri dan marah-marah di sekolah.”
“Sampai kelas 3 SMP, akhirnya kami memutuskan Vincent tidak melanjutkan sekolah formal. Sehingga kita pilih jalur melukis,” katanya.
Setelah memilih untuk fokus di bidang melukis, perkembangan Vincent jauh lebih pesat. “Dia tadinya susah konsentrasi hanya 5-10 menit, sejak menggambar bisa 2-6 jam melukisnya.”
Tak hanya itu, lanjut Rudy, Vincent juga lebih percaya diri dan bisa menjaga emosinya.
Advertisement
Stigma autisme dulu dan sekarang
Rudy menganggap memang ada perubahan menanggapi stigma autisme di masyarakat meskipun harus terus disisialisasikan.
“Zaman dulu, saya bawa Vincent ke restoran bisa diusir satpam. Kalau ketemu orang dimarahin. Kok anaknya nggak bisa diem. Kita juga nggak ngaku anak autisme supaya bisa diperlakukan normal,” kata Rudy.
Tapi karena sekarang zaman internet, kata Rudy, banyak orang bisa melihat anak autisme juga berprestasi, tingkah lakunya seperti apa dan bagaimana melihatnya jadi sudah banyak berubah. “Sekarang bahkan satpam bisa merespons dengan biasa. Óh, anak bapak autisme, iya tolong dimengerti. Terima kasih. Gerakan awareness memang perlu terus disampaikan agar keluarga ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) lain bisa percaya diri.
“Stigma ini proses, perjalanan waktu diharapkan bisa membuat masyarakat semakin paham. Harapannya, stigma bisa berkurang dengan banyak kesadaran,” pungkasnya.