Liputan6.com, Jakarta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, dan pelatihan kerja penyandang disabilitas.
Pemerintah Pusat dan Daerah pun perlu menjamin penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada Penyandang Disabilitas. Hal tersebut ditujukan guna membuka kesempatan bagi para Penyandang Disabilitas untuk menjadi mandiri dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan negara.
Baca Juga
Guna mewujudkan komitmen tersebut, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) berusaha mengarusutamakan pemberian layanan ketenagakerjaan yang inklusif. Yakni dengan pengelolaan ketenagakerjaan yang mempertimbangkan aspek penghormatan terhadap hak asasi dengan mengikutsertakan dan mengintegrasikan semua orang atas dasar kesetaraan.
Advertisement
“Kementerian Ketenagakerjaan melalui seluruh dinas yang membidangi ketenagakerjaan baik provinsi maupun kabupaten/kota wajib membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) Bidang Ketenagakerjaan,” kata Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kemnaker, Nora Kartika Setyaningrum mengutip keterangan pers Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sabtu (16/7/2022).
Hal ini dinyatakan dalam Konferensi Nasional MOST-UNESCO dengan topik Peningkatan Hak Akses Ketenagakerjaan Penyandang Disabilitas yang digelar BRIN secara daring, Rabu (29/06).
Nora menambahkan, selain ULD Bidang Ketenagakerjaan, Kemnaker juga telah melakukan beberapa strategi seperti pelatihan vokasi inklusif bagi tenaga kerja Penyandang Disabilitas dan program link and match yang menghubungkan pencari kerja dengan pemberi kerja.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rekrutmen Inklusif
Nora juga menjelaskan terkait strategi yang telah dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB) dalam rangka meningkatkan akses ketenagakerjaan bagi Penyandang Disabilitas.
Menurut Analis Kebijakan KemenPAN RB, Supardiyana, rekrutmen ASN maupun PPPK sudah menggunakan sistem rekrutmen yang inklusif. Yakni dengan menyediakan kuota formasi bagi Penyandang Disabilitas sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2021 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
Sementara itu, Anggota Komite Nasional MOST-UNESCO Indonesia, Maftuchan menyampaikan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia cukup tinggi yaitu hampir 10 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Ada sekitar 27 juta orang dengan disabilitas ringan, sedang maupun berat, sehingga akses ketenagakerjaan bagi Penyandang Disabilitas menjadi isu penting dalam pembangunan nasional dan daerah.
“Meskipun kita mengalami kemajuan policy di Indonesia terkait Penyandang Disabilitas, namun program antara Kementerian/Lembaga dengan Pemerintah Daerah masih terjadi overlap dan belum terintegrasi dengan baik.” Jelas Maftuchan.
Advertisement
Yang Perlu Diperhatikan
Menurutnya, hal lain yang juga perlu diperhatikan pemerintah dalam upaya peningkatan hak akses ketenagakerjaan bagi Penyandang Disabilitas yakni:
-Tingkat pendidikan Penyandang Disabilitas yang masih rendah
-Penyediaan infrastruktur yang memadai
-Bantuan dan dukungan kepada perusahaan untuk mempekerjakan Penyandang Disabilitas
-Serta penyediaan pelatihan yang inklusif.
Senada dengan Maftuchan, Program Officer International Labour Organization, Tendy Gunawan juga menyampaikan bahwa tingkat pendidikan Penyandang Disabilitas di Indonesia jauh lebih rendah dibanding penduduk non-disabilitas. Hal ini memicu terjadinya diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja.
Menurut Tendy, perlu ada transisi dengan menyediakan pelatihan keterampilan inklusif yang sesuai dengan permintaan pangsa pasar kerja yang setidaknya dapat meningkatkan keterampilan para penyandang disabilitas.
Di sisi lain, dalam mewujudkan kebijakan, program, dan layanan yang inklusif serta berkeadilan untuk Penyandang Disabilitas, diperlukan riset dan tata kelola informasi yang akuntabel.
Menurut BRIN, kompleksitas permasalahan dan upaya-upaya yang telah dilakukan sejauh ini belum mampu mengubah stigma dan stereotip atas Penyandang Disabilitas.
Banyak Tantangan
Masih banyak tantangan yang mengakibatkan perlakuan diskriminatif yang dialami penyandang disabilitas yaitu terbatasnya kesempatan dan akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan kesejahteraan, bahkan hak perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan.
Sejumlah program dan layanan yang ada juga belum efektif menjangkau semua penyandang disabilitas dalam mengatasi kesulitan hidup, memitigasi risiko yang dihadapi, dan mendukung resiliensi jangka panjang.
Selain persoalan data penyandang disabilitas, masih minimnya bukti ilmiah untuk mendasari penyusunan kebijakan dan perancangan program yang tepat adalah salah satu faktor yang menyebabkan kebijakan dan program serta layanan penyandang disabilitas belum sepenuhnya inklusif, terpadu (lintas-sektor), dan memadai.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menegaskan, BRIN memiliki fungsi untuk mendukung pembentukan kebijakan berbasis bukti.
“BRIN sebagai lembaga riset pemerintah juga memiliki fungsi untuk mendukung pembentukan kebijakan berbasis bukti (evidence based policy),” kata Handoko mengutip keterangan pers Selasa (12/7/2022).
Fungsi ini dijalankan melalui Deputi Kebijakan Pembangunan, Deputi Kebijakan Riset dan Inovasi serta Deputi Riset dan Inovasi Daerah.
“Termasuk dalam hal ini kebijakan terkait kesetaraan bagi disabilitas, dan memastikan bahwa disabilitas tidak menjadi kendala untuk mendapatkan hak dasar sebagai warga negara,” lanjutnya.
Advertisement