Liputan6.com, Jakarta Istilah alexithymia masih asing bagi sebagian orang. Istilah ini didefinisikan sebagai kesulitan dalam mengekspresikan diri atau meluapkan emosi.
Umumnya, ketika merasa sedih orang-orang akan menangis, ketika merasa bahagia mereka akan tersenyum dan tertawa. Begitu pula ketika kesal, mereka akan marah. Namun, pada orang dengan alexithymia hal ini cukup sulit dilakukan, padahal perasaan sedih atau senang jelas mereka rasakan.
"Alexithymia adalah kondisi yang membuat kamu kesulitan menunjukkan emosi yang tengah dirasakan," kata dr. Devie Irine Putri mengutip Klikdokter Selasa (16/8/2022).
Advertisement
Ia menambahkan, alexithymia bukanlah gangguan mental yang perlu mendapatkan penanganan khusus dari psikolog atau psikiater. Namun, keberadaannya tetap diakui sebagai fenomena psikologis.
Meski belum diketahui secara pasti, para ahli menduga penyebab alexithymia bisa dikarenakan faktor genetik, trauma masa kecil, atau kondisi medis yang memengaruhi fungsi saraf dan otak, seperti penyakit Parkinson, Alzheimer, epilepsi, autisme, dan stroke.
Sederet faktor ini dipercaya bisa merusak insula. Ini adalah bagian otak yang berperan dalam mengatur kemampuan untuk bersosialisasi, berempati, dan mengekspresikan emosi.
Berdasarkan penelitian psikologi yang dimuat Scandinavian Journal of Psychology, penggunaan berlebih alkohol maupun obat-obatan terlarang diyakini juga bisa memicu kondisi alexithymia.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Gejala Alexithymia
Terdapat beberapa gejala alexithymia yang bisa dikenali, berikut ciri-cirinya:
-Sulit mengidentifikasi perasaan dan emosi
-Kesulitan membedakan antara emosi dan respons tubuh. Contohnya, saat merasa kesal, pengidap alexithymia tidak terlihat kecewa, marah, atau cemas
-Terbatas dalam menyampaikan perasaan ke orang lain
-Kesulitan untuk mengenal dan merespons berbagai emosi, termasuk nada suara dan ekspresi wajah
-Tidak punya imajinasi maupun fantasi
-Memiliki cara berpikir yang sangat logis dan kaku
-Terkesan cuek dengan orang lain, kaku, dan sering menjauhkan diri dari orang lain
-Tidak bisa beradaptasi dengan stres yang dihadapi
Devie menambahkan, penyandang alexithymia tetap memiliki emosi, hanya saja sulit ditunjukkan. Karenanya, banyak orang salah kaprah mengenal mereka sebagai orang yang tidak punya emosi.
Kondisi ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman yang menyebabkan penyandang alexithymia kerap merasa tidak puas dengan hidupnya.
Tak heran, alexithymia bisa muncul bersamaan dengan gangguan mental lainnya, seperti depresi, skizofrenia, maupun gangguan stres pasca trauma (PTSD).
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Tes Alexithymia
Tanda-tanda seseorang mengidap alexithymia hanya bisa diketahui oleh psikiater dan psikolog. Untuk menguji kondisi alexithymia, mereka akan meminta pasien mengisi kuesioner.
Beberapa tes alexithymia yang bisa dilakukan, seperti :
-The Twenty-Item Toronto Alexithymia Scale (TAS-20) menilai kemampuan pasien dalam mengidentifikasi perasaan, mengekspresikan perasaan ke orang lain, serta menguji kecenderungan pasien dalam berpikir secara eksternal.
-The Bermond-Vorst Alexithymia Questionnaire (BVAQ) menilai skala emosi, fantasi, identifikasi, analisa, serta verbal.
-The Observer Alexithymia Scale (OAS) menilai faktor keterasingan, wawasan, somatisasi (keluhan fisik akibat beban mental berat), humor, serta kekakuan sikap pasien.
Psikolog di Harvard Medical School dan penulis buku "Emotional Agility: Get Unstuck, Embrace Change, and Thrive in Work and Life” Susan David mengatakan bahwa alexithymia bukanlah diagnosis klinis.
"Tapi itu adalah kesulitan yang dihadapi jutaan orang setiap hari - dan itu membutuhkan biaya yang banyak," kata David kata, seperti yang dilansir dari U.S. News.
Penanganan Alexithymia
Alexithymia adalah ketika seseorang mengalami kesulitan mengidentifikasi, menggambarkan, dan mengekspresikan emosi. Istilah ini diciptakan oleh Peter Sifneos pada tahun 1972, dan berasal dari akar kata Yunani yang secara harfiah berarti, "kurangnya kata- kata untuk emosi."
Alexithymia umumnya digambarkan sebagai sifat/karakteristik kepribadian dan tidak diklasifikasikan sebagai gangguan kesehatan mental.
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10 persen dari populasi umum menunjukkan alexithymia yang signifikan secara klinis. Artinya hal itu mengganggu fungsi setidaknya dalam dua bidang kehidupan, misalnya interpersonal dan pekerjaan.
Hingga saat ini, belum ada pengobatan khusus yang diklaim bisa mengatasi kondisi alexithymia. Namun, pengobatan dapat dilakukan dengan gabungan terapi, misalnya obat-obatan dan terapi yang disesuaikan dengan kondisi penyandangnya.
Hal ini menimbang orang dengan alexithymia memiliki kondisi lain, seperti depresi, trauma, dan sebagainya.
Obat yang diberikan tergantung dengan keadaan setiap penyandang. Apabila pasien mengalami masalah depresi, obat antidepresan bisa diberikan. Jika mengalami kecemasan, maka yang diberikan adalah obat anticemas.
Penyandang alexithymia juga bisa menjalani beberapa bentuk terapi, seperti terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy), terapi kelompok, maupun psikoterapi. Terapi bisa membantu meringankan masalah psikologis yang dihadapi pengidap alexithymia.
"Daripada menduga-duga apakah kamu mengidap alexithymia atau tidak, konsultasikan langsung dengan psikolog atau psikiater, ya! Dengan begitu kamu bisa belajar mengungkapkan emosi secara lebih baik," pungkas Devie.
Advertisement