Sukses

BBM Naik, Begini Prediksi Dampaknya bagi Penyandang Disabilitas

Komunitas disabilitas LIRA Disability Care (LDC) Sidoarjo, Jawa Timur, menyoroti gejolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditetapkan pemerintah pada 3 September 2022.

Liputan6.com, Jakarta Komunitas disabilitas LIRA Disability Care (LDC) Sidoarjo, Jawa Timur, menyoroti gejolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditetapkan pemerintah pada 3 September 2022.

Ketua LDC Abdul Majid memprediksi kenaikan BBM bersubsidi akan sangat memukul kondisi perekonomian para penyandang disabilitas dan keluarganya.

Pasalnya, jaring pengaman dalam bentuk bantuan sosial (bansos) dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) yang sudah mulai disalurkan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap masyarakat. Khususnya bagi penyandang disabilitas yang sudah tertekan sejak pandemi COVID-19.

“Rp.24,17 triliun BLT BBM yang dijanjikan presiden Jokowi tidak akan berdampak langsung jika tidak diimbangi dengan kebijakan lain seperti penyesuaian kenaikan gaji karyawan, penekanan laju inflasi dan kebijakan strategis berkelanjutan lainnya,” kata Majid dalam keterangan pers, Selasa (6/9/2022).

Sebagai penyandang disabilitas sensorik netra, Majid menyebutkan pasti akan ada kenaikan tarif dasar ojek online (ojol) yang menjadi moda transportasi utama mobilitas para difabel.

“Sebelum BBM naik, tarif ojek online per 10-km sekitar 28 ribu. Sekarang, tarif tersebut pasti akan terjadi kenaikan.”

Hal ini juga memengaruhi masyarakat penyandang disabilitas fisik atau daksa yang menggunakan motor modifikasi.

“Motor modifikasi roda tiga pasti akan bertambah beban beratnya, hal ini juga berpengaruh terhadap jumlah konsumsi BBM per kilometernya.”

Majid juga menyinggung soal rekannya yang merupakan ibu rumah tangga dengan tiga Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Menurutnya, ibu tersebut akan sangat kerepotan mengatur keuangan.

2 dari 4 halaman

Terkait Bansos

“Biaya untuk mengurus anak berkebutuhan khusus tidak murah. Bayangkan betapa kalang kabutnya ibu itu mengatur pengeluaran keluarga, pendidikan, dan biaya rehabilitasi ketiga putranya yang berkebutuhan khusus,” imbuhnya.

Pada dasarnya, Majid mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan tiga bantuan sebagai subsidi dan bentuk kompensasi untuk meredam laju inflasi akibat kenaikan BBM bersubsidi.

Ketiga bantuan sosial tersebut yakni:

-Pertama, BLT sebesar Rp150 ribu diberikan kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) selama empat bulan.

Total dana untuk bansos ini mencapai Rp12,4 triliun. BLT itu akan diberikan masing-masing Rp150 ribu selama empat kali melalui Kementerian Sosial. Dengan total BLT ekstra yang diterima KPM sebesar Rp600 ribu.

-Kedua, BLT untuk pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta per bulan sebesar Rp600 ribu. BLT itu hanya diberikan satu kali kepada 16 juta pekerja. Untuk hal ini, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp9,6 triliun untuk menyalurkan BLT tersebut.

3 dari 4 halaman

Tak Tepat Sasaran

-Ketiga, pemerintah memberikan subsidi menggunakan 2 persen dari dana transfer umum, yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dana ini sebesar Rp2,17 triliun untuk transportasi umum, seperti ojek online. 

Meski demikian, masih ada kasus bantuan sosial yang tak tepat sasaran. Pria lulusan sarjana ekonomi Universitas Bhayangkara Surabaya itu berharap pemerintah harus lebih teliti dalam proses penyaluran bansos. Khususnya kepada penyandang disabilitas yang sangat membutuhkan.

“Banyak bansos yang tidak tepat sasaran, misalnya banyak penyandang disabilitas yang terdaftar di PKH tiba-tiba dihentikan tanpa konfirmasi.”

“Kan ini sangat mengkhawatirkan, apalagi jutaan rakyat baik disabilitas ataupun non disabilitas sama-sama membutuhkan,” ungkap pria asal Kabupaten Sidoarjo itu.

Majid kemudian memberikan masukan kepada pemerintah agar lebih bijak dalam menyalurkan BLT.

“Persoalan data harus benar-benar clear. Kemudian sebagai bentuk keberpihakan dan rasa keadilan, pemerintah harus mulai mengimplementasikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sesuai perundang-undangan.”

4 dari 4 halaman

Jaminan Sosial Khusus Disabilitas

Lebih lanjut Majid memaparkan, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo wajib membuat desain jaminan sosial khusus bagi sekitar 25 juta lebih penyandang disabilitas dan keluarganya.

“Jaminan sosial ini harus mengakomodasi 22 plus 2 hak penyandang disabilitas yang tercantum dalam pasal 5, UU no 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.”

Peraih beasiswa studi di Queensland University of Technology Australia itu juga menyinggung soal bantuan yang diterapkan di negeri kanguru bagi masyarakatnya yang disabilitas.

“Di Australia ada national disability insurance scheme (NDIS) yang mengakomodasi hak-hak penyandang disabilitas di negeri kangguru. Sebetulnya kita sudah punya model serupa yaitu badan pelaksana jaminan sosial (BPJS).”

Majid berharap, pemerintah Indonesia dapat memodifikasi BPJS agar dapat juga mengakomodasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas secara khusus.

“BPJS-Plus mungkin lebih pas ya, prinsipnya hal ini harus mulai disuarakan dan dibahas di forum-forum kajian kebijakan publik.

Secara umum BPJS-Plus harus mengakomodasi hak-hak dasar penyandang disabilitas meliputi pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perekonomian, pelayanan publik, sektor perbankan, transportasi publik, dan hak yang lainnya.

 “Prinsipnya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas harus berdasarkan by name, by address, by assessment agar dapat diberikan secara proporsional sesuai kondisi dan ragam disabilitasnya,” pungkas dia.