Sukses

Berkaca dari Tragedi Kanjuruhan Arema, Kebisingan Stadion Picu Kerusakan Pendengaran Anak

Tanpa ada kericuhan pun, kebisingan di arena sepak bola terbilang tidak ramah bagi anak lantaran bisa memicu gangguan pendengaran.

Liputan6.com, Jakarta Tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Arema, Malang turut berdampak pada anak-anak yang juga berada di lokasi kejadian.

Tanpa ada kericuhan pun, kebisingan di arena sepak bola terbilang tidak ramah bagi anak lantaran bisa memicu kerusakan pendengaran. Hal ini disampaikan dokter spesialis anak Kurniawan Satria Denta.

“Jangan bawa anak nonton bola langsung di stadion, jika usia anak masih di bawah lima tahun, apalagi bayi. Suara riuhnya pertandingan langsung bisa merusak pendengaran bayi,” kata Denta mengutip utas di Twitter pribadinya, Senin (3/10/2022).

Ia juga berpendapat, membawa anak ke stadion untuk menonton bola bukan pilihan yang tepat. Pasalnya, pertandingan sepak bola di Indonesia belum diatur sedemikian rupa untuk ramah anak.

“Harus diakui, pertandingan sepak bola langsung di Indonesia tampaknya memang belum diatur sedemikian rupa untuk ramah anak dan keluarga.”

Pada tragedi Kanjuruhan, anak-anak juga turut terpapar gas air mata yang ditembakan pihak keamanan.

Menurut Denta, efek gas air mata pada anak bisa lebih berat ketimbang pada orang dewasa.

“Kapasitas paru yang masih terbatas membuat efek gas air mata jadi lebih berat dirasakan oleh anak-anak,” kata Denta.

“Gas air mata tidak boleh digunakan untuk mengendalikan massa atau kerumunan yang terdapat anak-anak di dalamnya. We should've known better,” tambahnya.

Ia pun menyarankan, jika orangtua hendak membawa anak ke pertandingan bola maka pastikan anak tersebut sudah berusia di atas 5 tahun.

“Itu pun tidak semua pertandingan bisa ditonton. Pertandingan malam dan/atau pertandingan yang risiko rusuh tinggi, jangan bawa anak-anak. Keselamatan anak di atas kesenangan orangtua,” katanya.

2 dari 4 halaman

Tragedi Pilu Kanjuruhan Arema

Tragedi kerusuhan suporter bola di Stadion Kanjuruhan terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022.

Tragedi ini terjadi pasca pertandingan Arema dan Persebaya yang menelan hingga ratusan korban jiwa. Peristiwa kelam ini dipicu oleh suporter Arema yang tak bisa menerima kekalahan dari lawan.

Menurut seorang saksi yang berhasil selamat, pertandingan awalnya berjalan aman hingga di penghujung pertandingan terjadilah kericuhan.

Ini diawali dengan seorang suporter Arema yang masuk ke lapangan untuk meluapkan kekesalan.

Aksi ini diikuti suporter lain yang kemudian dihadang oleh aparat dan terjadilah tindak kekerasan. Tak disangka, suporter lain pun ikut turun ke lapangan. Gas air mata pun ditembakkan untuk menghentikan para suporter.

Namun, hal ini membuat mereka panik dan membuat suasana semakin ricuh. Tak sedikit yang terinjak dan kesulitan bernapas saat berusaha melarikan diri ke luar stadion.

Di dalam stadion tersebut, ada anak-anak dan lanjut usia. Di mana mereka juga terkena efek dari gas air mata.

3 dari 4 halaman

Ajarkan Pemahaman Kalah Menang Sejak Dini

Dari kejadian ini, beberapa orang menyimpulkan bahwa memang kericuhan itu diawali dari rasa tak mau menerima kekalahan.

"Kalah hari ini, bisa menang esok hari. Mati hari ini, tak akan pernah hidup kembali," kata pengguna Twitter @Prast_Lampard.

Terkait hal ini, psikolog dari 3 Generasi, Ayoe Sutomo, memberi tanggapan soal mengajarkan kalah menang pada anak terutama yang beranjak remaja.

"Sebenarnya kalau kita bicara soal menang dan kalah, idealnya memang dikenalkannya bukan pas masa remaja saja. Baiknya dikenalkan sedini mungkin dari umur sekitar TK begitu, 4 tahun, 5 tahun," ujar Ayoe saat dihubungi Health Liputan6.com pada Minggu (2/10/2022).

Di usia itu, anak-anak sudah bisa bermain kelompok dan bermain secara sosial. Maka dari itu. pengenalan soal kalah menang idealnya di lakukan di usia ini.

"Cara mengenalkannya, ketika anak kalah bantu validasi ‘kamu sedih ya, aku paham rasanya enggak enak’ apapun perasaan anak itu bantu divalidasi dan diterima," katanya.

"Kalau anak sudah merasa nyaman kita bantu untuk memberi pandangan-pandangan kita mengenai bagaimana memaknai lomba, fokus ke proses bukan ke hasil," Ayoe menambahkan.

Setelah itu, orangtua bisa membantu anak untuk merencanakan apa yang bisa dilakukan di kemudian hari agar menjadi lebih baik.

"Ini yang sebenarnya perlu diajarkan kepada anak ya, kalau remaja sudah agak lewat. Idealnya pada masa kanak-kanak hal ini sudah dilakukan dari orangtua kepada anaknya," ujar Ayoe.

4 dari 4 halaman

Situasi Sosial Remaja Lebih Kompleks

Orangtua juga bisa memberi pengertian bahwa dalam perlombaan itu memang ada kalah menang. Jika pun kalah, tidak apa-apa yang penting sudah melakukan yang terbaik.

Berbeda dengan anak, situasi sosial yang dialami di masa remaja sudah lebih kompleks, pergaulannya lebih luas, dan pengaturan situasi yang dihadapi pun lebih beragam.

"Sementara secara emosi, pengaruh dari hormon, pengaruh fungsi kerja otak memang belum terlalu matang dan masih sangat naik turun," kata Ayoe.

Cara kerja otak remaja dalam menentukan berbagai hal masih perlu diasah. Hormon juga mendukung remaja untuk mau mengambil hal-hal yang berisiko untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungan sosial sekitar.

"Reward ini bisa macam-macam bentuknya, bisa pujian, bisa penerimaan dari teman-teman sebaya dan sebagainya," katanya.

Kompleksitas ini pada akhirnya memengaruhi remaja ketika berada dalam situasi sosial tertentu, contohnya dalam pertandingan sepak bola.