Liputan6.com, Jakarta Saigo Kotaro, yang kehilangan penglihatan di kedua matanya di usia 30-an bepergian ke 200 kastil di seluruh Jepang untuk meningkatkan kesadaran tentang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di tempat-tempat wisata.
Ia menemukan beberapa kastil dalam destinasi wisatanya sudah baik aksesibilitasnya bagi penyandang disabilitas.
Baca Juga
Misalnya di salah satu kastil, ia ditawari menggunakan baju zirah, membuatnya lebih merasakan atmosfer bahwa sedang berada di kastil. Ia pun berjalan seakan dirinya adalah samurai di masa lampau.
Advertisement
"Berat baju zirahnya 10 kg," ujar Saigo takjub ketika memakainya sambil berjalan mengitari kastil.
"Itu (baju zirah) berat dan membuat bahu saya kesakitan. Tapi juga itu menjadi cita rasa pengalaman," ujarnya, dilansir NHK.
Saigo dulunya adalah sorang insinyur IT. Tapi ketika ia menginjak usia 30 tahun, ia kehilangan fungsi penglihatan di kedua matanya akibat bekerja berlebihan.
"Saat itu saya dalam kondisi mengenaskan penuh putus asa. Saya jadi tidak tahu lagi alasan saya hidup," jelas Saigo.
Namun kehidupannya justru berbalik empat tahun yang lalu, saat ia mendengar di media sosial bahwa Jepang dipenuhi oleh objek wisata yang luar biasa. Sayangnya, pengunjung penyandang disabilitas tidak bisa ikut menikmatinya.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk meningkatkan kesadaran tentang aksesibilitas bebas hambatan di tempat-tempat wisata di Jepang.
Baru-baru ini, ia berhasil mengunjungi kastil Gifu. Ia menyayangkan tidak adanya tanda bahaya untuk mengingatkan pengunjung tentang susuran tangga (handrail) yang sedang rusak. Saigo juga sempat tersandung lentera sepanjang jalan.
"Mungkin mereka tidak menyangka orang dengan gangguan penglihatan akan berkunjung kemari," ujar Saigo berusaha bersikap positif.
Â
Mendapat Izin Khusus
Â
Lain halnya di Kastil Inuyama di prefektur Aichi. Biasanya, para pengunjung dilarang memakai baju zirah di dalam. Tapi Saigo justru mendapat izin spesial. Bahkan seorang perwakilan asosiasi turis memandunya di sekitar kastil.
Disana, Saigo bisa menggunakan handrail dan tali untuk memanjat dengan aman.
Terkadang, di beberapa kastil bahkan tidak mengizinkan Saigo masuk karena petugas yang bertanggung jawab masih belum memahami maksud dan tujuan dari misinya.
"Pantas saja, kastilnya sedari awal tidak bebas gangguan. Tapi, jika saja orang-orang menyadari bahwa masih ada orang-orang dengan disabilitas yang tertarik dan ingin berkunjung maka saya pikir misiku sukses," ujar Saigo.
Advertisement
Jepang Bergerak Cepat Perbaiki Akses Disabilitas
Sebelumnya, dilansir dari Bloomberg, Jepang tengah memperbaiki akses bagi penyandang disabilitas. Hal ini dilakukan guna mempersiapkan kedatangan turis.
Selain terkenal akan kebersihan dan keteraturan negaranya, Jepang berusaha meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Dalam hal ini, terutama terhadap jaringan stasiun kereta api Jepang yang luas.
Sementara untuk semua keberhasilannya sebagai keajaiban modern dari mobilitas massa berkecepatan tinggi, sistem kereta api Jepang secara historis dianggap tidak dapat diakses oleh mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
Contoh kasus yang dialami salah satu penumpang, Allan Richarz. Ia menuliskan hal-hal yang berubah dari stasiun kereta api di Jepang melalui Bloomberg.
Misalnya, "selama satu perjalanan kereta api dari Tokyo ke Yokohama pada tahun 2016, saya pernah mengamati seorang penumpang yang menggunakan kursi roda terperangkap di dalam gerbong kereta karena tidak ada petugas yang hadir untuk memasang landai kecil yang dapat dilipat yang digunakan untuk membantu pengendara penyandang disabilitas mencapai peron. Akhirnya, menyadari penderitaannya, beberapa penumpang dapat menahan pintu dan membantu pria itu dengan mengangkatnya dan kursi rodanya keluar ke peron," ceritanya.
Â
Memudahkan Pengguna Kursi Roda
Di seluruh bangunan ibukota dan tempat-tempat wisata: tempat parkir terlalu kecil untuk menampung pengguna kursi roda; gedung sekolah bertingkat tanpa landai atau lift, dan persepsi tradisional bahwa penyandang disabilitas harus disembunyikan dari pandangan publik. Fitur-fitur seperti itu telah membantu memberi Jepang reputasi negatif, terkadang tidak adil, terkadang tidak, dalam hal akses disabilitas.
Perlahan tapi pasti, bagaimanapun, perubahan telah datang untuk membuat Tokyo, dan Jepang pada umumnya, lebih dapat diakses secara luas, sebagian didorong oleh kota yang dianugerahi Olimpiade Musim Panas 2020/1 pada tahun 2013. Pandemi menghalangi kerumunan pengunjung internasional yang diharapkan untuk Pertandingan, dan perbatasan Jepang sebagian besar tetap ditutup sejak Maret 2020.
Â
Â
Advertisement