Liputan6.com, Jakarta Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) terutama di pedesaan acap kali mendapat penanganan yang salah. Alih-alih dilarikan ke rumah sakit jiwa (RSJ), mereka malah dipasung.
Menurut Penasihat Disabilitas dari Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) Dr. Bahrul Fuad, hingga kini pasung menjadi permasalahan di Indonesia.
Baca Juga
“Ini menjadi laporan dari aktivis gerakan disabilitas dan lembaga Hak Asasi Manusia termasuk Komnas Perempuan dan Komnas HAM pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Agustus kemarin terkait Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD),” kata pria yang akrab disapa Cak Fu saat menjawab pertanyaan Disabilitas Liputan6.com di Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Advertisement
Konvensi Disabilitas Internasional menyatakan bahwa penanganan soal kesehatan mental di Indonesia masih sangat buruk. Pemasungan masih terjadi baik di dalam institusi yang dalam hal ini adalah pusat rehabilitasi mental juga dalam masyarakat atau keluarga.
“Pemasungan masih banyak terjadi, karena apa? Karena mitos dan stigma.”
Sebagian masyarakat masih melihat bahwa orang dengan gangguan jiwa bukanlah masalah medis tapi lebih dipandang sebagai persoalan mistis.
“Oleh karena itu, tokoh agama memiliki peran yang sangat penting untuk menjelaskan kepada keluarga dan masyarakat supaya penanganan gangguan jiwa tidak dikaitkan dengan mistis,” kata Cak Fu.
Menghilangkan Kasus Pasung
Dalam berbagai kesempatan acara keagamaan, para tokoh agama dapat bergerak menyampaikan kepada masyarakat terkait penanganan ODGJ yang tidak dikaitkan dengan hal mistis.
Menurut Cak Fu, gerakan seperti ini dapat menjadi salah satu cara menghilangkan kasus pasung di Indonesia.
“Tokoh-tokoh agama bisa menyuarakan kepada umat atau masyarakat lain bahwa gangguan kesehatan mental bukanlah kutukan atau sesuatu yang berkaitan dengan mitos.”
“Orang yang memiliki masalah mental sebenarnya adalah orang yang butuh teman. Masalah mental membuat orang berperilaku tidak biasa dan malah dijauhi dan ini bisa membuat situasi mentalnya lebih parah.”
Celakanya, hal ini diperburuk dengan stigma dan mitos-mitos sehingga keluarga memilih cara penyelesaian dengan pemasungan dan pengurungan.
Advertisement
Disabilitas Rentan Alami Gangguan Jiwa?
Isu soal kesehatan mental baru-baru ini memang banyak diperbincangkan di kalangan masyarakat. Gangguan kesehatan mental dapat dialami oleh setiap orang baik disabilitas maupun non disabilitas.
Mengingat sebagian penyandang disabilitas memiliki keterbatasan mobilitas dan berbagai tantangan lain, maka timbul sebuah tanya. Apakah penyandang disabilitas lebih rentan mengalami masalah kejiwaan ketimbang non disabilitas?
Mengenai hal ini, Cak Fu mengatakan bahwa korelasinya belum ditemukan.
“Apakah saudara-saudara kita yang mengalami disabilitas itu rentan memiliki masalah kejiwaan, sejauh penelitian saya, saya belum menemukan korelasi itu,” katanya.
Namun yang jelas, lanjutnya, orang yang memiliki masalah kejiwaan atau psikososial itu masuk dalam kelompok disabilitas. Ini sesuai definisi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas.
“Jadi disabilitas itu definisinya adalah hasil interaksi antara keterbatasan fisik dan atau mental seseorang dengan lingkungan dan sikap masyarakat. Jadi orang yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental sehingga mengalami hambatan lingkungan dan sosial.”
“Jadi apa disabilitas punya korelasi dengan kesehatan mental, saya sendiri tidak merasa ya. Mental saya sehat-sehat saja karena saya menjadi disabilitas sejak usia 1 tahun tapi tidak ada kemudian merasa rendah,” katanya.
Contoh Penanganan
Sebelumnya, Kementerian Sosial (Kemensos) melalui Balai Mental Dharma Guna di Bengkulu telah mengupayakan agar Penyandang Disabilitas Mental (PDM) tidak mendapatkan perlakuan dan perawatan yang salah selama berada dalam keluarga.
Pemasungan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Pada 2020, Tim Reaksi Cepat (TRC) Balai Mental Dharma Guna melakukan kegiatan respons kasus terhadap 5 orang PDM yang mengalami pemasungan di Kabupaten Bengkulu Selatan.
Tim bergerak berdasarkan informasi dari Dinas Sosial Kabupaten Bengkulu Selatan.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Balai karena sangat responsif menanggapi informasi dan permohonan respon kasus dari kami,” tutur Didi Ruslan selaku Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bengkulu Selatan.
Tim yang terdiri dari 10 orang bersama dengan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) mengevakuasi korban pemasungan yang berada di 3 lokasi. Yaitu Kecamatan Ulu Manna, Kedurang dan Pino Raya untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto.
Tim juga menggali informasi tentang kondisi PDM dari keluarga dan menjelaskan kepada keluarga upaya apa yang akan dilakukan terhadap PDM oleh Tim Reaksi Cepat.
Advertisement