Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani A Rotinsulu mengatakan, pemberian vaksin booster COVID-19 perlu digencarkan di kalangan penyandang disabilitas.
Pasalnya, selama ini mereka tidak bisa mengakses vaksin secara aktif seperti masyarakat pada umumnya.
Baca Juga
“Pemberian bisa dilakukan dengan jemput bola atau menggandeng komunitas penyandang disabilitas,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Disabilitas Liputan6.com, Kamis (10/11/2022).
Advertisement
Ia menambahkan, komunitas penyandang disabilitas perlu dilibatkan dalam program vaksinasi RI. Dengan melibatkan komunitas penyandang disabilitas, maka keluarga atau pendamping difabel dapat ikut mengkomunikasikan pentingnya menjalankan prosedur kesehatan di kalangan disabilitas.
Para difabel dapat mengambil peran sebagai penyebar informasi tentang booster. Ini berguna untuk membantu kalangan disabilitas yang kesulitan mengakses informasi yang sesuai dengan kondisi mereka. Serta menyadarkan penyandang disabilitas lainnya bahwa mereka juga butuh vaksin.
Pasalnya, ada di antara mereka yang menganggap kondisinya sebagai komorbid sehingga merasa tidak perlu vaksinasi. Padahal, penyandang disabilitas termasuk dalam kelompok yang rentan terinfeksi COVID-19.
“Pelibatan komunitas diharapkan dapat meningkatkan literasi tentang vaksin dan COVID-19 di kalangan penyandang disabilitas,” Maulani mengatakan.
Dorongan menggencarkan vaksinasi untuk disabilitas ini menyusul terjadinya lonjakan kasus COVID-19 belakangan ini.
Ditambah, kini subvarian XBB sudah menyebar di Indonesia dan hingga 10 November 2022 kasusnya ada 48 orang.
Meski belum ada bukti bahwa subvarian ini menyebabkan gejala parah, tapi penularannya cepat dan berisiko tinggi bagi kelompok rentan termasuk lanjut usia (lansia) dan komorbid.
Untuk itu, vaksin booster pada kelompok rentan perlu ditingkatkan demi menjaga modal imunitas sebelum subvarian ini menyebar lebih luas.
Booster Perlu Sasar Masyarakat Adat
Tak hanya kelompok rentan, berkaca pada kasus di Singapura, subvarian ini banyak menyerang kelompok usia muda dengan rentang usia 20-39. Mereka yang belum pernah terpapar COVID-19 juga lebih berisiko terinfeksi XBB.
Maka dari itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan bahwa prosedur kesehatan perlu berlaku ketat, dan vaksinasi dosis ketiga alias booster mesti dipercepat.
Senada dengan IDI, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan menilai vaksinasi perlu digencarkan hingga booster. Terutama bagi masyarakat adat dan kelompok rentan.
Sebab, dua kelompok ini umumnya baru menerima vaksin dosis kedua. Selaras dengan rekomendasi IDI, Koalisi ini juga merekomendasikan agar masyarakat tetap menerapkan prosedur kesehatan ketat dan segera mendapat booster.
Advertisement
Bukan Tanpa Alasan
Dorongan ini bukan tanpa alasan, sejak akhir Oktober, angka kasus harian COVID-19 naik drastis. Dalam sepekan terakhir, tren kasus COVID-19 masih menunjukkan peningkatan.
Pada 31 Oktober, angka penularan 2.457, lalu terkerek menjadi 4.707 sehari berselang. Kenaikan tidak berhenti hingga 4 November, dan mencapai level 5.303. Kelegaan hanya berlangsung dua hari setelah kasus turun hingga mencapai 3.662. Namun, pada 8 November, kasus pun menanjak jadi 6.601, kemudian jadi 6.186.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, Hamid Abidin, menyatakan pemberian booster tidak bisa ditunda lagi.
“Selain itu, pelaksanaan prosedur kesehatan pun harus tetap ketat dan diawasi. Kewaspadaan perlu dijaga, sebab COVID-19 belum sepenuhnya hilang,” kata Hamid mengutip keterangan yang sama.
Hamid juga menekankan pemerintah perlu terus mendukung dan memfasilitasi masyarakat adat dan kelompok rentan di berbagai wilayah terpencil di luar Pulau Jawa. Pasalnya, masih cukup banyak dari mereka yang belum mendapatkan vaksin COVID-19 dosis pertama dan kedua.
“Mereka tentu tidak bisa mendapatkan vaksin booster kalau belum dapat vaksin dosis 1 dan 2,” katanya.
Vaksinasi penting dalam upaya perlindungan dari penularan dan kematian karena COVID-19. Ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bahwa 84 persen korban meninggal karena COVID-19 belum menerima booster.
Setop Penyebaran ke Daerah Terpencil
Jika semua kelompok masyarakat mendapat booster, Hamid yakin subvarian XBB dapat dihalau untuk menjalari wilayah terpencil atau menyerang kelompok rentan.
“Sebab, selama ini untuk vaksin dosis umum dua kelompok ini masih tertinggal. Jika mereka kena subvarian baru, Indonesia akan makin lama bebas dari COVID-19,” ujarnya.
Vaksin booster dapat mendongkrak efektivitas vaksin pertama dan kedua karena daya kerja vaksin ganda itu dapat melemah seiring waktu. Melemahnya benteng perlindungan tubuh memerlukan intervensi booster agar antibodi kembali terbentuk secara optimal. Bila imunitas telah meningkat, tubuh pun akan lebih siap menghadapi virus, katanya.
Pada masyarakat adat atau di kawasan terpencil, literasi tentang vaksin juga masih lemah. Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani menjelaskan, tidak semua orang di wilayah terpencil siap divaksinasi karena minimnya edukasi. Umumnya mereka belum paham tentang COVID-19 dan vaksinnya.
“Mereka takut karena terpengaruh hoaks yang kadung tersebar,” ujar Gita. Untuk itu, LTKL bekerja sama dengan guru, tokoh adat atau agama, serta dinas terkait untuk membantu program vaksinasi.
LTKL juga melakukan pendekatan yang selaras dengan kehidupan masyarakat adat. Misalnya, untuk meningkatkan imunitas dibutuhkan perilaku hidup bersih dan pangan cukup. “Kecukupan pangan yang bergizi ini bisa dipenuhi dari kebun yang sudah mereka tanam sendiri,” ujarnya.
Advertisement