Sukses

Perusahaan Korea Donasikan Sejumlah Barang untuk Penyandang Disabilitas Perkembangan

Program ini telah dikembangkan menjadi kegiatan kontribusi sosial yang representatif dan visi sebagai perusahaan perawatan kesehatan global.

Liputan6.com, Jakarta Daewoong Pharmaceutical dan Korea Foundation for International Cultural Exchange (KOFICE) mendonasikan barang-barang ke dua sekolah di Indonesia untuk penyandang disabilitas perkembangan. Kedua sekolah tersebut yakni Sekolah PurbaAdhika dan Malika Center.

Daewoong Pharmaceutical mendonasikan 240 buku bergambar AAC untuk membantu penyandang disabilitas perkembangan mengomunikasikan gejala penyakit mereka.

KOFICE mengirimkan perangkat multimedia seperti TV dan laptop untuk meningkatkan lingkungan pendidikan bagi penyandang disabilitas perkembangan, alat musik untuk terapi rekreasi, dan 240 'K-Culture Kits'yang terdiri dari permainan dan mainan tradisional Korea.

“Menjelang peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Korea-Indonesia tahun depan, kami merasa terhormat dapat memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas perkembangan di Indonesia untuk turut merasakan budaya dan seni Korea sekaligus membantu meningkatkan lingkungan pendidikan dan medis mereka,” kata Kilhwa Jung, Presiden KOFICE, dalam keterangan pers, Minggu (18/12/2022).

Daewoong Pharmaceutical sendiri telah melakukan kampanye ‘Say Pain!’ sejak bulan Mei untuk membantu penyandang disabilitas perkembangan mengungkapkan gejala penyakit mereka di Indonesia.

'Say Pain!' adalah nama kampanye global untuk “Chamji-Mayo”, kegiatan sosial di Korea yang telah dilakukan sejak 2019.

Program ini telah dikembangkan menjadi kegiatan kontribusi sosial yang representatif dan visi sebagai perusahaan perawatan kesehatan global.

Untuk itu, perusahaan berkomitmen untuk memproduksi buku bergambar AAC versi Indonesia ‘Katakan Rasa Sakitmu’ bagi penyandang disabilitas perkembangan untuk membantu mengungkapkan gejala sakityang mereka rasakan melalui tulisan dan gambar yang mudah ke staf medis.

Rencananya, tahun depan, akan ada lebih banyak donasi buku bergambar AAC, dan program pendidikan untuk penyandang disabilitas, guru, dan pekerja lembaga terkait dalam penggunaan buku bergambar AAC akan dijalankan.

 

2 dari 4 halaman

Apa Itu Buku AAC?

Sebelumnya, psikolog perkembangan lulusan Universitas Indonesia, Tri Puspitarini, S.Psi, M.Psi.  mengatakan, salah satu alat komunikasi yang mudah digunakan untuk anak penyandang disabilitas perkembangan adalah buku berbasis Augmentative and Alternative Communication (AAC) yang bisa digunakan ketika pemeriksaan kesehatan bersama tenaga kesehatan (nakes).

“AAC adalah istilah umum yang mencakup metode komunikasi yang digunakan untuk melengkapi atau menggantikan ucapan atau tulisan bagi mereka yang kesulitan dalam produksi bahasa lisan atau tulisan,” ujar Tri.

AC digunakan dalam berbagai kasus gangguan bicara dan bahasa, termasuk gangguan kongenital seperti gangguan serebral, kelumpuhan, gangguan intelektual dan autisme. Pada kondisi seperti amyotrophic lateral, sclerosis dan parkinson, AAC dapat menjadi bantuan media komunikasi permanen atau sementara.

Secara sederhana, AAC merupakan suatu ilmu yang didalamnya mencakup metode dan cara yang dapat membantu seseorang yang mengalami kesulitan berkomunikasi secara lisan dan verbal dengan orang di sekitarnya.

 

3 dari 4 halaman

Perkembangan Bahasa Isyarat

Penggunaan modern AAC dimulai di Amerika pada 1950-an. Awalnya, ini digunakan pada mereka yang kehilangan kemampuan berbicara saat mengikuti prosedur bedah.

Penggunaan bahasa isyarat manual dan simbol grafis komunikasi ini kemudian tumbuh pesat selama 1960-1970-an. Perkembangan ini seiring dengan peningkatan komitmen terhadap inklusi penyandang disabilitas dan dalam rangka mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk kemandirian.  

AAC mencakup perangkat berteknologi rendah dan peralatan berteknologi tinggi. AAC dapat berupa perangkat elektronik maupun non-elektronik, keduanya dapat dibuat untuk individu tertentu dengan bentuk yang sederhana maupun kompleks.

Di Indonesia, Daewoong Pharmaceutical baru-baru ini merilis proyek “Say Pain!,” atau “Katakan sakitmu” proyek ini sudah berjalan di Korea sejak 2019.

Mengacu pada fakta penelitian, tingkat literasi penyandang disabilitas perkembangan di Korea sangat rendah. Adanya kesulitan dalam berkomunikasi menyebabkan penyandang disabilitas perkembangan di sana sulit mendapatkan perawatan medis yang tepat. Ini menjadi latar belakang lahirnya proyek Say Pain!.

4 dari 4 halaman

Apa Itu Disabilitas Perkembangan?

Anak penyandang disabilitas perkembangan sering kesulitan untuk mengungkapkan rasa sakit. Hal ini menyulitkan orangtua dan juga dokter dalam menangani ataupun memberikan obat.

Disabilitas perkembangan atau developmental disability menurut American Psychological Association adalah kondisi perkembangan yang ditandai oleh adanya gangguan baik fisik maupun kognitif yang terjadi sebelum usia 22.

Gangguan ini menyebabkan keterbatasan pada fungsi hidup dan adaptasi, serta berkelanjutan di sepanjang kehidupan penyandangnya.

Dokter Spesialis Anak Prof Rini Sekartini mengatakan, anak-anak disabilitas perkembangan biasanya begitu sensitif saat dipegang atau diperiksa.

"Mereka memiliki kendala dalam berbicara dan berkomunikasi (non-verbal), tidak dapat menyatakan keadaan / kondisi sakit dengan benar dan juga kesulitan mandiri," katanya dalam konferensi pers penutupan kampanye Say Pain dan Daewoong Social Impactor ke-2.

Untuk itu, peran keluarga sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak, termasuk dalam kondisi sakit.

"Menangis, tantrum, gangguan perilaku dan emosi atau regresi/ kemunduran perkembangan dapat menjadi tanda awal," jelas prof Rini.

Kendala lain adalah anak penyandang disabilitas perkembangan cenderung kesulitan menentukan derajat sakit/emergency. Apalagi jika diminta menentukan lokasi rasa sakit.

Penelitian di Korea melaporkan, penyandang disabilitas intelektual dan perkembangan cenderung memiliki keterampilan literasi yang lebih rendah. Sehingga, mereka lebih cenderung menghadapi kesulitan untuk mengikuti komunikasi, baik untuk berbicara maupun memahami pembicaraan.

Penyandang disabilitas intelektual dan perkembangan lebih cenderung menahan penyakitnya karena sulit bagi mereka untuk secara akurat menjelaskan bagian mana dan bagimana mereka sakit. Karena itu, mereka juga tidak menerima perawatan yang tepat di rumah sakit atau apotek.