Liputan6.com, Jakarta Ibu asal Bandung R. S. Shabariyah berbagi kisah soal anaknya yang menyandang down syndrome, Rizqi Rabiutsani.
Ketika memasuki usia 44, perempuan yang karib disapa Shaba berhenti menstruasi. Namun, ia menganggap hal ini biasa karena teman-teman kerjanya pun banyak yang sedang mengalami sindrome premenopause.
“Jadi saya pikir saya pun sedang menuju ke fase menopause. Hanya menjelang bulan ke 3, saya iseng periksa test pack/kehamilan. Kaget kok positif. Akhirnya saya periksakan lagi ke laboratorium, hasilnya sama positif,” kata Shaba kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan teks belum lama ini.
Advertisement
“Langsung ke dokter kandungan dan ternyata saya positif hamil lagi di usia 44 tahun. Suami dan saya antara senang dan khawatir,” tambahnya.
Satu bulan setelah dinyatakan hamil, ibu yang kini berusia 65 itu mengalami perdarahan dan dirawat selama 3 hari. Ketika perdarahan berhenti, ia melakukan kontrol dengan USG 3 dimensi yang saat itu (2022) baru tren. Dokter kandungan pun mendeteksi adanya kelainan pada bayi yang ia kandung.
“Saya dirujuk ke departemen Fetomaternal RS Hasan Sadikin. Di sana saya diperiksa oleh dokter kandungan yang superspesialis. Dia mengatakan kemungkinan 70 persen anak yang saya kandung lahir sebagai penyandang Down's syndrome.”
“Saya shock, dokter merencanakan tindakan amniocentesis untuk mengetahui keakuratan sampai 90 persen apakah bayinya memang down syndrome (DS),” ujarnya.
Menangis Sepanjang Jalan
Tindakan amniocentesis ini rencananya dilakukan 2 minggu setelah pemeriksaan tersebut. Sepulangnya dari dokter, ia menangis sepanjang jalan.
“Sepanjang pulang saya menangis tersengguk enggak bisa ditanya. Suami saya enggak mengerti dan bingung melihat saya menangis seperti itu karena saya orang yang susah menangis dan dia baru lihat saya menangis seperti itu.”
Ia pun mengetahui bahwa tindakan amniocentesis ini dilakukan untuk rencana pengguguran kandungan bila ternyata hasilnya positif.
“Akhirnya saya berusaha konsultasi ke beberapa dokter ahli kandungan, dokter ahli anak, dan ustaz-ustaz. Ke ustaz-ustaz itu untuk cari tahu apa hukumnya menggugurkan kandungan.”
Rata-rata, para ahli memberi jawaban dengan gambaran yang menakutkan. Ada yang bilang kemungkinan anaknya tidak bisa ditinggal-tinggal, kemungkinan ada komplikasi yang perlu penanganan intensif, kemungkinan ketergantungan seumur hidup dan lain-lain.
“Sudah kebayang sulitnya dan mungkin saya harus berhenti bekerja.”
Advertisement
Rencana Pengguguran
Ibu yang juga berprofesi sebagai dokter ini pun menghubungi sahabatnya di Jakarta yang ahli kandungan sekaligus agamis.
Ia pun bertanya soal pengguguran kandungan. Pasalnya, ia selama ini sudah hidup bahagia dengan sepasang anak. Ia pun tak terbayang betapa sibuknya merawat anak disabilitas.
“Seakan hidup akan sulit sekali dan kebahagiaan hilang. Saya tidak mau kehilangan masa-masa bahagia saat itu dengan 2 anak dan suami yang sedang naik kariernya.”
“Jawaban temanku telak: ‘Tanyalah ke dalam hati nurani keibuanmu yang paling dalam’.”
Selama dua minggu menuju amniocentesis dihabiskan dengan doa dan air mata. Shaba merasakan pergolakan batin yang luar biasa.
“Sampai suatu sore ketika saya sedang tidur siang dengan 2 anak saya. Entah mimpi, entah melindur seperti ada yang membisikkan sesuatu: ‘Kenapa enggak mau dititipi anak berkebutuhan khusus. Bagaimana kalau kuambil salah seorang anakmu karena kamu tidak mau dititipi 1 anak lagi?"
Tak Jadi Lakukan Amniocentesis
Mendengar suara itu, ia merinding dan lari ke suaminya kemudian bertekad bahwa ia tidak akan melakukan amniocentesis karena tidak akan menggugurkan kandungan ini.
“Mudah-mudahan diagnosis dokter salah. Dan kemungkinan 30 persen kan terlahir normal.”
Setelah Shaba berbicara pada suaminya, ternyata sang suami pun mengalami hal serupa. Setelah salat tahajud, suaminya tidur sambil duduk dan bermimpi ada anak kecil memanggil-manggil, “Ayah ayah.”
“Perasaan itu anak yang dikandungan. Suami seolah bicara ‘Tenang nak, bunda sedang diobati. Kamu tenang saja di situ’ Lalu menghilang.”
“Saya kaget, apakah bayi ini pamit ke ayahnya untuk mungkin gugur spontan atau dia minta tolong ke ayahnya karena ibunya sudah memikirkan untuk menggugurkan. Akhirnya kami berdua sepakat tidak akan melakukan amniocentesis dan pasrah dengan ketentuan Allah SWT,” katanya.
Tepat 30 Juni 2002, Rizqi pun lahir dengan suara tangis yang tak nyaring. Ia menyandang down syndrome tapi berhasil tumbuh dengan baik. Saat ini, Rizqi menginjak usia 20 dengan segudang semangat dan prestasi.
Advertisement