Liputan6.com, Jakarta Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia (KND RI) memiliki tugas mendorong pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengakomodasi keterwakilan 10 persen anggota legislatif penyandang disabilitas di parlemen.
Hal ini disampaikan ketua organisasi disabilitas di Sidoarjo, Jawa Timur, LIRA Disability Care (LDC) Abdul Majid.
Baca Juga
Menurutnya, belum adanya kuota keterwakilan anggota legislatif bagi disabilitas di parlemen cukup menghambat upaya pengarusutamaan isu disabilitas. Serta upaya mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak disabilitas di indonesia.
Advertisement
Penyandang disabilitas netra itu juga menyampaikan, kuota 10 persen yang ia usulkan berasal dari total jumlah penyandang disabilitas yang mencapai sekitar 25 juta jiwa.
“Artinya, kuota 10 persen keterwakilan disabilitas di parlemen akan mewakili sekitar 10 persen suara penyandang disabilitas dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260-an juta,” kata Majid melalui keterangan tertulis yang dibagikan kepada Disabilitas Liputan6.com, Minggu (22/1/2023).
Hal pertama yang dapat menguatkan gagasan tersebut adalah good will dan political will yang berasal dari dukungan para aktivis disabilitas, KND RI, dan para elit politik di Jakarta, tambah Majid.
“Saya yakin, gagasan besar ini dapat segera terealisasi tentunya dengan restu dari istana dan mayoritas politisi di Senayan.”
Langkah Pemenuhan Kuota 10 Persen
Majid juga menjabarkan, pemenuhan kuota 10 persen keterwakilan disabilitas di parlemen dapat ditempuh dengan beberapa langkah.
Salah satunya adalah dengan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan kebijakan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan penyandang disabilitas di parlemen.
“Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap penyandang disabilitas dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 harus dimulai dengan harmonisasi sistem perundang-undangan paket politik.”
“Yaitu harmonisasi antara UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No 8 tahun 2012 tentang pemilihan DPR-RI, DPD, dan DPRD, UU Nomor 07 tahun 2017 tentang pemilihan umum, dengan UU Nomor 08 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas,” katanya.
Advertisement
Menyertakan Penyandang Disabilitas di Parpol
Pada kelembagaan partai politik, affirmative action dapat dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan penyandang disabilitas minimal 10 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.
Di mana, hal ini hanya dapat dilakukan dengan cara merevisi UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik.
Pemenuhan hak politik dan jaminan partisipasi penyandang disabilitas dalam pesta demokrasi, sebenarnya juga telah diatur di dalam UU nomor 07 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Namun, di dalam perundang-undangan tersebut, belum terdapat aturan terkait kuota 10 persen keterwakilan penyandang disabilitas di parlemen.
Peningkatan partisipasi penyandang disabilitas juga harus dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memerhatikan keterwakilan penyandang disabilitas sekurang-kurangnya 10 persen di dalam mengajukan calon anggota legislatif, kata Majid.
Peran Kunci KND
UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD juga harus diatur, lanjutnya.
Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan penyandang disabilitas sekurang-kurangnya 10 persen.
Lebih jauh, selain good will dan political will dari pejabat tinggi istana hingga elit politik di Senayan, Majid juga menyinggung peran kunci dari KND.
Sebagai lembaga negara yang bertugas melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Majid menilai KND mempunyai posisi tawar dan posisi strategis untuk melakukan konsolidasi aspirasi dari para penyandang disabilitas dengan stakeholders terkait.
“Saya mendukung agar komisioner KND dapat bersuara lebih keras lagi di hadapan mitra strategisnya. Apalagi ini memasuki tahun politik, jadi pengarusutamaan isu disabilitas dalam konteks politik juga harus lantang disuarakan,” harap Majid.
Advertisement