Sukses

Penelitian Ungkap Jumlah Penyandang Autisme Naik 500 Persen

Penelitian baru menunjukkan bahwa prevalensi autisme meningkat sebanyak 500 persen dalam beberapa dekade terakhir, tetapi mungkin masih kurang terdiagnosis.

Liputan6.com, Jakarta Penelitian baru menunjukkan bahwa prevalensi autisme meningkat sebanyak 500 persen dalam beberapa dekade terakhir, tetapi mungkin masih kurang terdiagnosis.

Dilansir dari Disabilityscoop, dalam analisis data anak usia 8 tahun di wilayah metropolitan New York-New Jersey antara tahun 2000 dan 2016, para peneliti menemukan bahwa jumlah anak autisme dan disabilitas intelektual meningkat dua kali lipat selama periode waktu tersebut. Namun, di antara mereka yang tidak memiliki disabilitas intelektual, peningkatannya lima kali lipat.

Namun, penelitian yang diterbitkan secara online Kamis di jurnal Pediatrics menemukan bahwa perbedaan diagnosis tetap ada dan banyak anak mungkin tetap terabaikan. Anak-anak dari daerah kaya 80% lebih mungkin dibandingkan dengan anak-anak dari daerah yang kurang terlayani untuk ditandai sebagai autisme tanpa disabilitas intelektual sementara anak-anak kulit hitam dalam kategori ini 30% lebih kecil kemungkinannya untuk diidentifikasi dibandingkan dengan anak-anak kulit putih.

"Kesadaran yang lebih baik dan pengujian untuk ASD memang berperan," kata Walter Zahorodny, seorang profesor di Rutgers New Jersey Medical School dan penulis senior studi tersebut.

"Tetapi fakta bahwa kami melihat peningkatan 500% autisme di antara anak-anak tanpa disabilitas intelektual, menunjukkan bahwa ada hal lain yang juga mendorong lonjakan tersebut."

Ini adalah kebalikan dari temuan sebelumnya, yang menunjukkan bahwa autisme biasanya terjadi bersamaan dengan gangguan intelektual.

“Salah satu asumsi tentang ASD adalah bahwa hal itu terjadi bersamaan dengan disabilitas intelektual,” kata Josephine Shenouda, asisten profesor di Rutgers School of Public Health dan penulis utama studi yang diterbitkan hari ini (26 Januari) di jurnal Pediatrics.

“Klaim ini didukung oleh penelitian lama yang menunjukkan bahwa hingga 75 persen anak autisme juga memiliki kecacatan intelektual.”

“Apa yang ditunjukkan makalah kami adalah asumsi ini tidak benar,” kata Shenouda. “Faktanya, dalam penelitian ini, dua dari tiga anak autis tidak memiliki kecacatan intelektual apa pun.”

2 dari 3 halaman

Data Melibatkan 4 Ribu Anak

Menggunakan data dua tahunan dari Studi Autisme New Jersey, peneliti mengidentifikasi 4.661 anak usia 8 tahun dengan ASD di empat wilayah New Jersey (Essex, Hudson, Ocean, dan Union) selama masa studi. Dari jumlah tersebut, 1.505 (32,3 persen) memiliki disabilitas intelektual dan 2.764 (59,3 persen) tidak.

Analisis selanjutnya menemukan bahwa tingkat ASD yang terjadi bersamaan dengan kecacatan intelektual meningkat dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2016 – dari 2,9 per 1.000 menjadi 7,3 per 1.000. Tingkat ASD tanpa disabilitas intelektual melonjak lima kali lipat, dari 3,8 per 1.000 menjadi 18,9 per 1.000.

Shenouda mengatakan mungkin ada penjelasan untuk peningkatan yang diamati, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan penyebab pastinya, dikutip scitechdaily.

 

3 dari 3 halaman

Autisme Tak Berkaitan dengan Intelektual

Prevalensi ASD telah terbukti berhubungan dengan ras dan status sosial ekonomi. Studi Rutgers mengidentifikasi bahwa anak-anak kulit hitam dengan ASD dan tanpa cacat intelektual 30 persen lebih kecil kemungkinannya untuk diidentifikasi.

Sedangkan anak-anak yang tinggal di daerah makmur 80 persen kemungkinan diidentifikasi dengan ASD dan tanpa cacat intelektual dibandingkan dengan anak-anak di daerah terpencil.

Dengan menggunakan data Studi Autisme New Jersey dan data sensus AS, para peneliti dapat memperkirakan tingkat ASD yang kurang dihitung di empat wilayah.

Shenouda mengatakan bahwa temuan ini membantu kesenjangan identifikasi ASD yang sangat dibutuhkan ke daerah berpenghasilan rendah.

“Dengan hingga 72 persen populasi ASD memiliki kemampuan intelektual ambang atau rata-rata, penekanan harus diberikan pada skrining dini, identifikasi dini, dan intervensi dini,” katanya.