Sukses

Studi: Perempuan Disabilitas Alami Ketidaksetaraan Gender di Dunia Nyata dan Digital

Ketidaksetaraan gender bagi perempuan disabilitas di dunia nyata, ternyata terjadi pula di dunia digital.

Liputan6.com, Jakarta Ketidaksetaraan gender bagi perempuan disabilitas di dunia nyata, ternyata terjadi pula di dunia digital.

Perempuan, terlepas dari status disabilitasnya, cenderung tidak memiliki akses ke internet jika dibandingkan dengan laki-laki. Dan perempuan khususnya di kalangan menengah ke bawah lebih cenderung meminjam atau berbagi ponsel dengan suaminya.

Jika pun memiliki ponsel, perempuan cenderung hanya memiliki ponsel sederhana, hanya sedikit  yang memiliki ponsel pintar ketimbang laki-laki. Akses terbatas ke perangkat ini berkontribusi pada perempuan yang menggunakan lebih sedikit layanan digital.

Data yang dihimpun dari remaja  usia 15 hingga 19 tahun menunjukkan bahwa anak perempuan cenderung tidak menggunakan internet dan memiliki ponsel daripada rekan pria mereka. Sebuah studi oleh Girl Effect dan Vodafone yang dikutip oleh UNICEF menemukan anak laki-laki 1,5 kali lebih mungkin memiliki ponsel dan 1,8 kali lebih mungkin memiliki ponsel pintar dibandingkan anak perempuan.

Hambatan utama untuk perempuan memiliki akses digital adalah norma gender, kurangnya literasi digital, risiko bahaya digital, dan keterjangkauan. Dalam beberapa pengaturan, ponsel dan internet dianggap sebagai tantangan terhadap tatanan sosial tradisional dan risiko terhadap reputasi atau keselamatan perempuan dan anak perempuan.  Akibatnya, beberapa pihak mengontrol atau membatasi akses mereka ke perangkat.

Penelitian juga menyebut bahwa produk digital sering dirancang secara umum untuk pengguna pria. Akibatnya, beberapa produk digital tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak perempuan.

Perempuan dan anak perempuan lebih mungkin melaporkan kesulitan dalam menggunakan teknologi digital.

2 dari 4 halaman

Ketidaksetaraan Pendidikan

Kesenjangan gender ini dalam literasi digital dapat dikaitkan dengan ketidaksetaraan dalam pendidikan. Khususnya norma-norma gender yang mencegah anak perempuan dan perempuan untuk belajar dan bekerja di bidang teknologi serta perbedaan dalam akses perangkat.

Keterbatasan dalam literasi digital menyebabkan perempuan dan anak perempuan lebih mungkin terpapar bahaya digital. Ini termasuk pelecehan daring, cyberstalking, berbagi gambar atau informasi tanpa persetujuan, dan eksploitasi seksual daring.

Ketakutan akan risiko digital ini membuat banyak wanita dan anak perempuan membatasi diri mereka untuk interaksi dengan teknologi.

“Terakhir, perempuan dan anak perempuan umumnya memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah laki-laki dan anak laki-laki dan cenderung tidak dapat mandiri membeli perangkat atau data,” mengutip Accessible and inclusive digital solutions for girls with disabilities, a literature review and recommendations dari UNICEF, Kamis (2/2/2023.

3 dari 4 halaman

Hambatan Tambahan

Dalam hal ini, penyandang disabilitas menghadapi hambatan tambahan untuk inklusi digital, termasuk tantangan dalam akses digital, aksesibilitas, dan penggunaan.

Perangkat, konten, dan layanan digital seringkali tidak dapat diakses atau tidak mudah digunakan untuk penyandang disabilitas. Konten dan alat digital yang relevan dengan kebutuhan dan kemampuan mereka pun masih kurang.

Penyandang disabilitas juga kesulitan untuk mengakses penyedia layanan dan infrastruktur, seperti jaringan seluler dan agen, atau kekurangan formal identifikasi yang diperlukan untuk koneksi.

Keterjangkauan seringkali menjadi tantangan besar karena pendapatan mereka umumnya lebih rendah dan kebutuhan biaya tinggi terkait kondisi disabilitas yang disandang. Ini bisa menghambat pembelian perangkat seluler, layanan seperti paket data, atau bahkan listrik untuk mengisi daya perangkat.

4 dari 4 halaman

Risiko Kejahatan Digital

Selain itu, penyandang disabilitas umumnya memiliki lebih sedikit kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan digital. Akibatnya, mereka memiliki kemungkinan kurang memahami gawai, manfaatnya, fitur aksesibilitas yang tersedia dan bagaimana menjaga diri mereka tetap aman selama berjejaring.

Risiko pencurian perangkat seluler, penipuan, atau bahaya terkait dengan keamanan data, privasi, dan penggunaan internet meningkat di kelompok disabilitas.

“Mereka mungkin lebih sulit mengidentifikasi penipuan dan menjaga informasi pribadi di layar mereka.”

Akibat hambatan tersebut, penyandang disabilitas lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki ponsel pintar daripada non-disabilitas.

Analisis oleh Global System for Mobile Communications (GSMA) menunjukkan bahwa kesenjangan disabilitas untuk internet seluler semakin melebar pada setiap tahap perjalanan pengguna. Misalnya, di Kenya orang dengan disabilitas memiliki kemungkinan 11 persen lebih kecil untuk memiliki ponsel dibandingkan mereka yang tidak disabilitas. 36 persen lebih kecil kemungkinannya untuk mengetahui internet seluler dan 85 persen lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakannya.

Kesenjangan disabilitas sangat bervariasi di setiap negara, misalnya di Bangladesh, penyandang disabilitas memiliki kemungkinan 55 persen lebih kecil untuk memiliki ponsel daripada mereka tanpa disabilitas.