Liputan6.com, Jakarta Dokter spesialis bedah onkologi di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Rian Fabian Sofyan menjelaskan bahwa kanker payudara dengan stadium tinggi bisa menyebabkan disabilitas pada pasien.
“Memang betul, makin tinggi stadium pasien datang ke fasilitas kesehatan, tentu tingkat morbiditasnya cukup tinggi,” kata Rian dalam konferensi pers daring Peringatan Hari Kanker Sedunia Tahun 2023, Kamis 2 Januari 2023.
Baca Juga
“Banyak pasien kanker payudara itu terganggu atau disabilitas karena adanya penyebaran ke daerah tulang, jadi pasiennya tidak bisa mobilisasi dengan baik, tidak bisa berjalan,” tambahnya.
Advertisement
Selain itu, kanker payudara juga membuat pasien merasakan nyeri. Baik di daerah kankernya, maupun di daerah penyebarannya. Seperti nyeri di kepala, sumsum tulang belakang, dan tulang-tulang besar.
Jika timbul gejala gangguan pernapasan, maka kanker sudah menyebar ke paru-paru.
Maka dari itu, deteksi dini penting dilakukan untuk mencegah kanker payudara baru terdeteksi di stadium lanjut.
Menurut Rian, lebih dari 20 tahun, rumah sakit acap kali menerima pasien kanker payudara dengan stadium lanjut atau kankernya sudah menyebar.
Data pada 2020 menunjukkan, kasus kanker payudara di Indonesia mencapai 65.858 kasus baru per tahun. Artinya, ada 182,9 kasus per hari atau 7,6 kasus per jam.
“Artinya ada 1 pasien setiap 8 menit yang menderita kanker payudara.”
Tantangan yang Dihadapi
Tantangan yang dihadapi di Indonesia adalah bagaimana para pasien bisa datang ke fasilitas kesehatan saat kankernya masih stadium awal.
“Pasien kanker payudara yang datang ke RS Dharmais 72,3 persennya sudah stadium tinggi, stadium tiga ke atas.”
Padahal, semakin tinggi stadium maka angka kesembuhannya semakin menurun. Stadium tiga ke atas, angka kesempatan hidup 10 tahun kurang dari 50 persen. Di sisi lain, biayanya pun jauh lebih tinggi dari stadium dini.
Maka dari itu, kanker payudara disebut sebagai penyakit yang menggerus pembiayaan negara hingga Rp3,5 triliun. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi kebijakan untuk mengatasinya.
Melakukan intervensi kanker payudara sama dengan mengurangi beban pembiayaan negara.
Advertisement
Tiga Penyebab Keterlambatan Penanganan
Rian juga menjelaskan terkait penyebab terlambatnya pasien datang ke fasilitas kesehatan sehingga penanganannya pun terlambat.
“Ada tiga faktor, ada faktor pasien, dokter, dan sistem.”
Dari pasien, mereka acap kali ketakutan ketika menemukan benjolan tidak normal di payudara mereka. Ketika sudah berani periksa, mereka acap kali dihadapkan dengan masalah biaya.
“Meskipun biaya pengobatannya di-cover BPJS Kesehatan tapi biaya ongkos ke fasilitas kesehatannya itu mereka tidak punya, atau jarak ke faskes sangat jauh.”
Bisa pula karena informasi yang kurang tentang deteksi mandiri kanker payudara dan kurangnya edukasi.
Faktor Dokter dan Sistem
Sedangkan, faktor dokter bisa karena dokternya kurang mendapatkan pendidikan tentang kanker. Bisa pula karena kurangnya jumlah dokter onkologi di Indonesia.
“Mungkin tahun ini ada kisaran 200 sampai 300 dokter onkologi di Indonesia dan yang kita butuhkan kurang lebih 500 dokter bedah onkologi.”
Dari faktor sistem, keterlambatan penanganan kanker payudara bisa disebabkan oleh alur rujukan yang terlalu panjang.
“Nah ini masalahnya. Jadi ketika pasien sudah ke puskesmas ketika sudah ada diagnosis kecurigaan kanker, mereka harus ke fasilitas kesehatan di tingkat dua atau tingkat pratama baru ke tipe C terus ke tipe A.”
Alur yang panjang membuat waktu perawatan menjadi tertunda, padahal pasien memerlukan penanganan segera.
Advertisement