Sukses

CISDI: RUU Kesehatan Harus Dirancang Inklusif dengan Libatkan Penyandang Disabilitas

Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyampaikan bahwa perumusan Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) seharusnya dilakukan secara inklusif.

Liputan6.com, Jakarta Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyampaikan bahwa perumusan Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) seharusnya dilakukan secara inklusif.

Artinya, penyusunannya tidak hanya mengundang pihak tertentu tapi juga melibatkan berbagai pihak termasuk penyandang disabilitas.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengharuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melibatkan masyarakat yang memiliki kepentingan atau terdampak langsung dari peraturan yang sedang mereka susun, dalam konteks ini adalah RUU Kesehatan.

Artinya, DPR tidak hanya cukup mengundang organisasi profesi, tetapi juga harus mendengar suara masyarakat sipil yang mengetahui dengan jelas kondisi di lapangan.

“Terutama yang menyangkut kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, atau penyandang disabilitas termasuk yang mendampingi,” kata Pendiri dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih dalam keterangan pers ditulis Senin (20/2/2023).

Sebelumnya Diah menyampaikan, RUU Kesehatan sudah masuk dalam rapat paripurna tingkat kedua di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, masih ada beberapa hal yang mesti dikritisi.

Menurutnya, secara umum, UU Kesehatan yang lama memang sudah membutuhkan pembaruan. Sehingga ada beberapa pasal dalam RUU Kesehatan yang memang patut diapresiasi.

Namun, tidak sedikit pasal dalam rancangan undang-undang ini yang perlu mendapat kritik dan perhatian masyarakat.

“Ada kesan bahwa beberapa pasal di RUU Omnibus Law Kesehatan ini yang mengembalikan desentralisasi kesehatan menjadi sentralistik. Di antaranya dengan memberi kewenangan luas kembali ke pemerintah pusat,” kata Diah.

2 dari 4 halaman

Minimnya Pelibatan Masyarakat

Selain itu, ada pasal mengenai pembentukan komite sektor kesehatan yang hanya berisi kementerian dan lembaga negara, tanpa menyertakan ahli, organisasi profesi, atau masyarakat sipil.

Salah satu yang perlu dikritisi menurut Diah adalah soal minimnya pelibatan masyarakat yang bermakna dan inklusif dalam perumusan di DPR.

“CISDI melihat pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan di Baleg DPR ini terlalu singkat. Isu adanya omnibus kesehatan ini pertama kali muncul akhir September 2022. Waktu itu, Badan Legislasi DPR mengundang perwakilan beberapa organisasi profesi membahas RUU ini.”

“Sayangnya, meski banyak kritik dan penolakan, baleg DPR nyata jalan terus membahas RUU ini. Bahkan, masyarakat kebanyakan juga susah mengakses drafnya,” jelas Diah.

CISDI melihat reformasi di sektor kesehatan memang perlu, lanjutnya. Namun, proses ini hendaknya dilakukan secara inklusif dan transparan.

3 dari 4 halaman

Kemenkes Pegang Peran Lebih Luas

Sebaliknya, RUU Kesehatan dinilai memberi wewenang berlebihan ke Kementerian Kesehatan yang berpotensi mengarah kepada sentralisasi dan minim pelibatan aktor non-pemerintah.

CISDI melihat Kementerian Kesehatan memegang peranan lebih luas dalam RUU ini. Setidaknya ada dua pasal yang menempatkan Kemenkes memiliki kewenangan lebih.

Pertama, pasal 425 yang mengubah beberapa isi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Pasal 425 ayat 3, misalnya, terang-terangan menyebut BPJS Kesehatan berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Kebijakan ini mengubah isi Pasal 13 dalam UU BPJS.

“CISDI khawatir perubahan pasal ini akan menghilangkan independensi BPJS Kesehatan. Independensi BPJS Kesehatan penting agar lembaga ini tetap dapat mempertahankan otonominya secara operasional untuk menjalankan fungsi sebagai pembeli dalam sistem kesehatan.”

4 dari 4 halaman

Tak Seharusnya Dimonopoli Kemenkes

Penugasan dari Kementerian Kesehatan berpotensi makin menghilangkan otonomi BPJS Kesehatan untuk memilih metode pembayaran, menetapkan tarif, dan mengontrak pemberi layanan. Dengan begitu, BPJS kesehatan akan kesulitan mengelola dana amanat dan menjamin solvabilitas.

Penugasan BPJS Kesehatan tidak seharusnya dimonopoli oleh Kementerian Kesehatan. Dalam hal pengalokasian sumber daya untuk BPJS Kesehatan misalnya, juga penetapan premi, pemilihan paket manfaat, seharusnya melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas.

Termasuk Kementerian Keuangan, Asosiasi Tenaga Kesehatan Profesional, Akademisi, Industri dan juga publik.

Fungsi-fungsi ini sudah tepat dijalankan oleh komite-komite di dalam Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

“CISDI mendesak agar Kementerian Kesehatan lebih berkonsentrasi untuk memperbaiki perannya untuk memastikan standar kualitas layanan, kepatuhan terhadap protokol penegakan diagnosis, tatalaksana klinis, dan alur rujukan untuk penyakit-penyakit yang tercakup dalam paket manfaat.”

Kementerian Kesehatan juga sebaiknya bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memastikan kepatuhan standar praktik klinis dan pedoman penyelenggaraan layanan dengan menggunakan instrumen kebijakan verifikasi klaim.