Liputan6.com, Jakarta Gangguan makan mungkin hal yang umum bagi penyandang autisme, dan mungkin terlihat berbeda dari orang neurotipikal.
Seperti yang dialami Seren Sonell, 32 tahun, seorang seniman yang menyandang autisme dan aktif di teater New York City. Ia tidak menyukai makanan keras, renyah, dan dingin, serta buah-buahan dan sayuran.
Baca Juga
Selama di perguruan tinggi, ia bahkan hanya makan satu kali sehari. “Penurunan berat badan sangat menarik bagi saya,” kata Sonell.
Advertisement
"Tapi itu menjadi adiktif."
Dilansir dari Wellandgood, penelitian menunjukkan adanya tumpang tindih antara autisme dan gangguan makan.
"Sekitar 20 sampai 35 persen wanita dengan anoreksia, dibandingkan dengan hanya satu persen populasi umum wanita, memenuhi kriteria autisme," tulis peneltian tersebut.
Peneliti di Inggris mengungkapkan, ada korelasi serupa antara autisme dan gangguan makan lainnya, seperti bulimia dan gangguan makan berlebihan.
Orang dengan autisme juga lebih mungkin didiagnosis dengan Avoidant/restrictive food intake disorder (ARFID), gangguan yang membuat penderita sangat selektif memilih makanan. .
"Apa yang kami temukan dalam autisme adalah bahwa gangguan makan dimulai selama masa kanak-kanak, dan jika tidak diperbaiki, biasanya berlanjut hingga dewasa," kata seorang terapis anak dan remaja terdaftar, Sunny Cash.
Anak-anak mungkin mulai menghindari makanan tertentu hanya karena mereka menganggap makanan tersebut tidak enak, tetapi jika hal ini tidak ditangani sejak dini, hal itu dapat berubah menjadi gangguan makan.
Tanda-tanda Penyandang Autisme Mengalami Gangguan Makan
Orang dengan autisme juga rentan terhadap perasaan kewalahan dan stimulasi berlebihan karena sensitivitas sensorik dan kesulitan dalam memproses emosi.
"Hal ini dapat menyebabkan perasaan yang sulit diatur, dan pola makan yang tidak teratur dapat menjadi cara untuk mengendalikan emosi ini," kata Corrie Goldberg, PhD, seorang psikolog klinis.
Beberapa tanda gangguan makan seperti fluktuasi berat badan, ketidakteraturan menstruasi, pusing, pingsan, merasa dingin sepanjang waktu, kelemahan, dan kelelahan tidak boleh diabaikan pada siapa pun yang juga memiliki gangguan spektrum autisme,” kata Anna Tanner, MD, FAAP, FSAHM, CEDS -S, wakil presiden Department of Child and Adolescent Medicine di Veritas Collaborative eating disorder treatment center.
"Sebaliknya, mereka harus dievaluasi oleh profesional berpengalaman dengan latar belakang gangguan makan."
Advertisement
Jalan Menuju Pemulihan
Sekitar dua tahun setelah rutinitas makan sekali sehari dimulai, Sonell menyadari pola makannya tidak teratur dan mulai mencoba makan dengan cara yang lebih seimbang.
Ia pun kini mulai mengurangi stresnya, dan pola makannya juga membaik.
Meskipun dia tidak bekerja dengan terapis untuk mengatasi kebiasaan makannya yang tidak teratur pada saat itu, namun Sonell berencana untuk selalu memasak.
“Saya telah menemukan bahwa semakin tua usia saya, semakin sering saya masak di dapur saya dan semakin mudah untuk mencoba resep baru," kata Sonell.
Manajemen stres juga penting, tambahnya.
"Ini adalah perjalanan emosional dan spiritual. Pemulihan juga merupakan proses yang berkelanjutan," katanya.
“Saya tidak tahu apakah ini bisa disebut 'sembuh', tetapi saya lebih bahagia dan lebih sehat—dan lebih mampu memilih makanan dan rasa kenyang daripada penurunan berat badan.”