Liputan6.com, Jakarta Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia menyampaikan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menyandang disabilitas memiliki kesempatan untuk mengambil bagian di pemerintahan.
Termasuk menjadi Staf Khusus Presiden atau komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND) di kemudian hari.
Baca Juga
Seperti diketahui, dalam menjalankan tugas, TNI acap kali dihadapkan dengan situasi berbahaya yang mengancam nyawa atau menyebabkan disabilitas permanen. Para TNI yang menjadi penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab Pusat Rehabilitasi Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Pusrehab Kemhan RI) untuk menjalani rehabilitasinya.
Advertisement
“Masyarakat biasa yang menyandang disabilitas saja mampu menjadi Staf Khusus Presiden, siapa tahu Staf Khusus Presiden berikutnya adalah dari jajaran kesatuan lulusan dari Pusrehab Kemhan,” kata Angkie dalam Rapat Koordinasi Pusrehab Kemhan, Selasa 28 Februari 2023.
Pernyataan Angkie disambut tepuk tangan para TNI dan audiens lain sebagai tanda setuju.
“Semoga, karena kenapa? Karena isu-isu disabilitas perlu didorong terus. Isu penyandang disabilitas ini bukan lagi dipandang sebelah mata, kita memiliki kuantitas dan kualitas sebagai sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh negara,” tambahnya.
Angkie pun menjelaskan, TNI yang mengalami kecelakaan kerja dan menjadi disabilitas saat bertugas berhak untuk dikembalikan ke sataun.
“Ya tentu saja (dikembalikan ke satuan) selama masih memiliki kemampuan menjalankan tugas.”
“Dan tugas Pusrehab Kemhan untuk melakukan rehabilitas medik dan vokasi mempersiapkan anggota TNI yang mengalami disabilitas untuk dapat kembali bekerja menyesuaikan dengan ragam disabilitas,” tambahnya.
Tetap Berkarier dan Berdaya
Pusrehab Kemhan tidak bekerja sendiri, diperlukan kerja sama lintas sektoral untuk memulihkan kondisi TNI disabilitas agar siap kembali bekerja.
Pendidikan vokasi bagi TNI disabilitas kini tengah dipersiapkan melalui uji sertifikasi kompetensi. Tujuannya, membuat TNI disabilitas tetap bisa berkarier dan berdaya.
“Tahun ini, pendidikan vokasi akan dipersiapkan hingga melalui uji sertifikasi kompetensi, sehingga menjadi pengakuan TNI yang mengalami disabilitas untuk tetap terus berkarier, berdaya, dan berkarya,” jelas Angkie.
Advertisement
Diakomodasi Negara
Dalam kesempatan tersebut Angkie juga menjelaskan soal arahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).
Menurutnya, zaman dulu Indonesia punya Undang-Undang Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Namun, terminologi “penyandang cacat” sudah diubah menjadi “penyandang disabilitas” dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
“Jadi penyandang disabilitas itu diakomodasi oleh negara. Legislatif dan eksekutif itu saling bekerja sama untuk melindungi.”
Sedangkan, pemerintah melalui beberapa kementerian seperti Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Pertahanan (Kemhan), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melihat bahwa disabilitas bukan lagi isu sosial. Namun, hak asasi manusia dan isu multisektoral.
“Jadi semua sektor bertanggung jawab untuk melindungi dan mengakomodasi hak-hak penyandang disabilitas.”
Peraturan Turunan
Dulu, negara terkesan sulit untuk mengakomodasi hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini akibat peraturan pemerintah dan peraturan presidennya belum disahkan.
Untuk itu, Angkie mengusulkan kepada Jokowi untuk menguatkan implementasi dari Undang-Undang No. 8 Tahun 2016.
Penguatan implementasi ini bisa dilakukan dengan menghadirkan kebijakan-kebijakan peraturan pemerintah. Dan kebijakan ini mesti lintas sektor dari berbagai kementerian. Pemerintah pusat dan daerah harus saling bersinergi agar negara bisa mengimplementasikan peraturan-peraturan tersebut.
“Makanya 2019 sampai 2021 Bapak Presiden sudah mengesahkan tujuh peraturan pemerintah dan dua peraturan presiden, jadi kita kebut ini semuanya.”
Dari hal ini lah tercipta peraturan daerah, peraturan gubernur atau peraturan tingkat kota maupun tingkat kabupaten.
Advertisement