Sukses

Sering Ikut Pameran, Seniman Autisme Anfield Wibowo Kenal Kanvas Sejak Usia 7 Tahun

Seniman penyandang spektrum autisme asperger syndrome Anfield Wibowo memamerkan karya lukisnya dalam pameran Bianglala Seribu Imajinasi di Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta Seniman penyandang spektrum autisme asperger syndrome Anfield Wibowo memamerkan karya lukisnya dalam pameran Bianglala Seribu Imajinasi di Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta.

Pameran ini digelar pada 6 hingga 11 April 2023 di pertengahan bulan Ramadhan oleh Yayasan Autisma Indonesia (YAI).

Menurut ayah Anfield Wibowo, Doni Mardonius, buah hatinya mulai mengenal kanvas sejak usia tujuh. Kini, Anfield telah menginjak umur 18 tahun.

“Dari kecil sudah menunjukkan minatnya, dia lebih suka dunia curat-corat, pensil, puzzle, alat-alat tulis dibandingkan dengan bola, robot-robotan, atau mobil,” kata Doni saat ditemui Disabilitas Liputan6.com di Palmerah, Jakarta, Rabu 5 April 2023.

Guna menyalurkan hobi dan bakat Anfield dalam menggambar, Doni pun sengaja menyediakan sebuah ruangan untuk buah hatinya berekspresi. Jadi ruangan tersebut boleh dicorat-coret dan digunakan sesuai hobi Anfield.

“Kami kasih dia ruangan khusus untuk corat-coret, bebas mau ngapain aja.”

Pada umur tujuh tahun, Anfield sempat diikutsertakan dalam sanggar lukis selma satu hingga dua tahun. Di sanggar tersebut, sang guru melihat bahwa Anfield harus diberi kebebasan dalam berkarya, kegembiraan, dan bermain.

“Dia itu belajar dari mata, visual, dia belajar dari sekitar dan dari mana saja, bisa melihat gurunya melukis, temannya, atau dari google, sumber inspirasinya dari mana saja bebas.”

2 dari 4 halaman

Kebebasan Lukisan Anfield

Karena memiliki kebebasan untuk bergembira dan bermain, maka yang Anfield lukis pun cenderung bebas. Ia tidak memiliki rasa takut karena tidak ada yang mengekang dia ketika hendak melukis apapun.

“Saat dia ingin melukis ekspresif, dia ekspresif, saat ingin melukis abstrak, dia lakukan abstrak, saat realis ya realis, saat surealis ya surealis, karena kami orangtua memberi kebebasan full 100 persen,” ujar Doni.

Awalnya, saat Anfield tidak fokus dalam satu jenis tulisan orangtua cenderung memberi intervensi. Padahal hal ini salah.

“Setelah kami belajar tentang pendidikan bagi anak itu seperti apa, terus masukan dari orang-orang yang mengerti seni, ya akhirnya kami buat kesimpulan. Anak tuh hanya perlu diberi kebebasan, kegembiraan, bermain, dan diapresiasi dengan jempol,” jelas Doni.

3 dari 4 halaman

Pentingnya Apresiasi untuk Setiap Pencapaian Anak

Bagi Doni, apresiasi adalah hal yang tak boleh terlewat. Selain menyandang asperger syndrome, ia juga menyandang Tuli. Sehingga, isyarat jempol adalah apresiasi yang paling sering diberikan oleh Doni pada buah hatinya.

“Jadi karena Anfield tunarungu dan autis, dengan kita senyum dan kasih jempol, dia bahagia. Apapun yang dihasilkan, justru apa yang dia hasilkan dan dia lahirkan dari hasil olah pikir dan olah rasanya, justru itu yang menjadi kenikmatan bagi kami yang menerima.”

“Karena hasil lukisnya sungguh kaya. Saya mengira mungkin Anfield akan melukis seperti ini, ternyata Anfield melukisnya seperti itu, enggak pernah ketebak. Jadi setiap proses itu kami orangtua menikmati, dia mau pakai cat apa, campurannya seperti apa, kuasnya bentuk apa, objeknya apa, nah itu suatu kenikmatan jadi sampai sekarang kami beri kebebasan,” kata Doni.

4 dari 4 halaman

Sering Pameran

Seperti pameran-pameran yang pernah diikuti Anfield, di pameran kali ini juga ia melalui tahap seleksi terlebih dahulu.

“Ada seleksinya, panitia memberi formulir dan kami mengisinya, karya Anfield dinilai oleh kurator dan lolos sehingga bisa pameran di sini.”

Sebelumnya, Anfield juga cukup banyak mengikuti berbagai pameran lain, baik pameran tunggal maupun pameran bersama. Pameran tunggalnya pun terhitung sudah empat kali.

Pameran pertama dilakukan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, saat Anfield baru berusia delapan tahun.