Liputan6.com, Jakarta Hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap 2 Mei menjadi pengingat bahwa semua anak termasuk yang menyandang disabilitas memiliki hak untuk sekolah.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengajak masyarakat untuk menciptakan pendidikan yang berkeadilan bagi semua anak tanpa memandang perbedaan.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 3.000 sampai 5.000 anak lahir dengan kondisi down syndrome.
Advertisement
Hingga kini, diperkirakan terdapat 8 juta penyandang down syndrome di seluruh dunia. Jumlah ini belum ditambah dengan ragam disabilitas lainnya.
Oleh karena itu, Kemendikbudristek melalui kebijakan Merdeka Belajar berupaya mendorong tumbuhnya sekolah-sekolah inklusi.
“Prinsipnya, sekolah hadir memberikan kesetaraan hak bagi setiap anak dan menghadirkan pembelajaran yang mengakomodasi semua peserta didik termasuk bagi penyandang disabilitas,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdas Dikmen), Iwan Syahril dalam webinar di Jakarta, Selasa 14 Maret lalu.
Berdasarkan data pokok pendidikan (Dapodik) per Desember 2022, sebanyak 40.928 sekolah telah melaksanakan pendidikan inklusif. Baik di jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri dan Swasta.
Dari jumlah satuan pendidikan tersebut, sebanyak 135.946 peserta didik disabilitas telah melaksanakan pembelajaran di dalamnya.
Beri Motivasi, Kekuatan Psikologis, dan Ruang bagi Siswa Disabilitas dan Orangtuanya
Lebih lanjut, Iwan Syahril berpesan kepada masyarakat agar terus memberikan motivasi dan kekuatan psikologis bagi orangtua anak disabilitas seperti down syndrome.
Selain itu, Iwan juga mengajak masyarakat agar memberikan ruang bagi anak-anak down syndrome dan disabilitas lainnya untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya.
“Semoga kita selalu diberi kekuatan dalam mewujudkan cita-cita, mimpi bersama dalam mewujudkan pendidikan inklusif, adil, dan merata bagi seluruh anak-anak di Indonesia,” harap Iwan.
Advertisement
Wujudkan Pendidikan Kondusif dan Suportif
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dharma Wanita Pusat, Franka Makarim, mengajak masyarakat untuk bersama-sama menguatkan tekad mewujudkan pendidikan yang kondusif dan suportif.
Menurut Franka, masih banyak anak down syndrome yang mengalami diskriminasi karena kondisi yang disandang. Hal tersebut tidak hanya merugikan anak, tetapi juga bagi lingkungan sekitarnya.
“Setiap anak memiliki potensi yang dapat mendukung kemajuan masyarakat serta bangsa dan negara. Oleh karena itu, sosialisasi publik yang lebih luas perlu dilakukan agar pola pikir dan pemahaman orangtua, guru, dan masyarakat umum terus berubah dalam menyikapi down syndrome,” ujar Franka.
Tinggalkan Stigma Masa Lalu
Franka juga berharap masyarakat dapat meninggalkan stigma masa lalu. Di antaranya anggapan bahwa anak down syndrome dan disabilitas lainnya adalah objek yang memerlukan orang lain, bahkan ketergantungan pada pertolongan orang lain.
“Mari kita ciptakan dunia yang ramah dan memberikan perilaku adil bagi mereka, menerima kehadiran mereka dengan tidak memandang sebelah mata. Kita meyakini bahwa mereka memiliki potensi, rasa, mimpi, dan mampu berkontribusi bagi masyarakat,” imbau Franka.
Selanjutnya, salah satu anggota Asosiasi Profesi Ortopedagogik Indonesia (APOI) Joko Yuwono, berharap agar pemerataan pendidikan inklusi dapat diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesia.
“Akses pendidikan di Indonesia sekarang sudah terbuka lebar, baik melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun sekolah inklusi. Semoga akses ini semakin merata dan dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan,” katanya.
Advertisement