Liputan6.com, Jakarta Jennifer Natalie, seorang ibu penyandang Tuli yang kerap membuat konten mengenai bahasa isyarat memandang siaran televisi di Indonesia sulit dinikmati teman Tuli.
Menurutnya, porsi Juru Bahasa Isyarat (JBI) di siaran televisi seperti tayangan berita itu sangat kecil. "Aku nggak bisa lihat. Berarti aku butuh kaca pembesar ya?," katanya, dalam akun instagram pribadinya.
Baca Juga
Â
Advertisement
ÂÂÂView this post on Instagram
Jennifer pun membandingkan tayangan televisi di negara lain yang besar dan jelas. Hal ini memudahkan teman Tuli dalam mendapatkan informasi.
"Berbeda dengan luar negeri, JBI terlihat jelas dan besar," katanya.
Selain itu, siaran televisi juga jarang menggunakan fitur closed caption (teks transkrip dari apa yang dibicarakan oleh pembicara dalam sebuah tayangan atau video). Padahal fitur ini bukan hanya berguna untuk membantu teman difabel tapi juga bisa meningkatkan fokus, karena banyak sekali kata-kata yang sering terlewatkan.
Komentar Warganet Soal Juru Bahasa Isyarat
Video unggahannya pun mendapat reaksi dari warganet. Hampir semuanya sepakat dengan Jennifer. JBI yang tayang televisi Indonesia sangatlah kecil, bahkan tak jarang ditempatkan di pojok bawah siaran televisi.
Aktivias Surya Sahetapy pun mengomentari hal ini. "Dari tahun 2017 tim @plj.indonesia dan saya sudah sampaikan berkali-kali tapi hasilnya masih sama :) semoga ada orang baik," ujarnya.
Komentar lain dari Hazil_Aulia. "Menurut saya, memang terlalu kecil tampilan JBI di layar tv sehingga kesannya hanya formalitas dan 'pemanis' saja. Konprensi pers kepolisian tuh yang bagus, JBI disorot secara maksimal. Semoga ke depan menjadi lebih diperhatikan oleh pihak televisi."
Putro_kenongo_deco, "Iya harusnya lbh besar, kt yg bs mendengar jg pingin bs belajar bahasa isyarat melalui TV. Jd kl ada tmn dgn masalah pendengaran kt jg bs berkomunikasi. Kl terlalu kecil mata pusing liatnya jd kt abaikan dehh."
Â
Â
Tentang Bahasa Isyarat
Â
Saat ini diperkirakan sekitar 70 juta orang tuli menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa pertama mereka, menurut World Federation of the Deaf. Bahasa Isyarat pun akhirnya disebut menjadi identitas bagi komunitas Tuli.
Di Amerika, dan di beberapa bagian Kanada, komunitas Tuli menggunakan Bahasa Isyarat Amerika (ASL). Sedangkan komunitas Tuli di Inggris menggunakan Bahasa Isyarat Inggris (BSL). Diperkirakan ada lebih dari 300 bahasa isyarat yang saat ini digunakan di seluruh dunia.Â
Teman tuli menggunakan bahasa isyarat secara aktif. Bahasa ini biasanya digunakan dengan mengombinasikan gerak atau bentuk tangan, tubuh, lengan, serta ekspresi wajah untuk menyampaikan sebuah pesan.
Walaupun membutuhkan waktu yang lama untuk menguasai bahasa ini, tetap sangat menarik untuk dipelajari.
Advertisement
Bahasa Isyarat di Indonesia
Di Indonesia, ada dua jenis bahasa isyarat yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI). Bahasa isyarat SIBI biasanya digunakan untuk acara formal dan kenegaraan. Namun masyarakat Tuli umumnya menggunakan Bisindo karena dianggap berasal dari bahasa ibu.
Diperkirakan saat ini lebih dari 80% populasi penyandang Tuli tinggal di negara berkembang, dan secara kolektif menggunakan lebih dari 300 bahasa isyarat yang berbeda, dikutip Jagranjosh.
Di Indonesia sendiri berdasarkan Survei Nasional tahun 1994-1996, masyarakat Indonesia sudah cukup banyak mengalami gangguan pendengaran yakni, 18,5 persen atau 40,5 juta jiwa.
Prevalensi gangguan pendengaran mencapai 16,8 persen atau setara dengan 35,28 juta jiwa. Sedangkan ketulian mencapai 0,4 persen atau 840 ribu jiwa. Setiap tahunnya lebih dari 5 ribu bayi lahir dengan menderita tuli.
Bahasa isyarat bukan hanya tentang gerakan tangan. Namun, arah telapak tangan dapat mengubah seluruh makna.