Sukses

Bentuk Diskriminasi Disabilitas di 4 Tingkat, Keluarga hingga Negara

Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan di berbagai tingkat. Mulai dari tingkat keluarga, masyarakat, perusahaan, hingga negara.

Liputan6.com, Jakarta Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan di berbagai tingkat. Mulai dari tingkat keluarga, masyarakat, perusahaan, hingga negara.

Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) dalam buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas,” menguraikan soal diskriminasi yang dapat terjadi di empat tingkatan sebagai berikut:

Tingkat Keluarga

Di tingkat keluarga, diskriminasi dapat datang dari pasangan, orangtua, anak, kakak, adik, maupun lingkungan keluarga besar dan kerabat.

Diskriminasi ini hadir ketika anggota keluarga merasa malu memiliki anak atau keluarga yang lahir dengan kondisi berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Banyak keluarga yang tidak bisa menerima keadaan anggota keluarganya yang menyandang disabilitas. Hal ini tentunya mengurangi semangat dan kepercayaan diri penyandang disabilitas dalam mencari pekerjaan.

Keluarga juga merasa bahwa penyandang disabilitas tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa bergantung kepada orang lain.

Padahal, penyandang disabilitas juga manusia yang memiliki bakat dan potensinya masing-masing. Keluarga harusnya selalu mendukung anggota keluarganya penyandang disabilitas sehingga penyandang disabilitas dapat lebih semangat dalam menjalani hidupnya.

Tingkat Perusahaan

Di tingkat perusahaan, diskriminasi timbul dengan tidak menyediakan lapangan atau kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas.

“Perusahaan biasanya tidak mau menerima karyawan yang memiliki kekurangan atau keterbatasan fisik,” mengutip buku yang disusun pula oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu, Rabu (14/6/2023).

2 dari 4 halaman

Diskriminasi Disabilitas di Tingkat Masyarakat

Di tingkat masyarakat, diskriminasi datang dari:

  • Lingkungan masyarakat sekitar seperti Rukun Tetangga (RT)
  • Rukun Warga (RW)
  • Lingkungan masyarakat yang lebih luas seperti tempat kerja
  • Kelurahan
  • Desa atau daerah.

Diskriminasi bisa timbul dalam bentuk stigma buruk bagi para penyandang disabilitas. Misalnya menganggap disabilitas sebagai sesuatu yang salah dan merupakan sebuah dosa atau aib.

Disabilitas sering dipandang sebagai aib atau bahkan kutukan. Sehingga, masyarakat cenderung menjauhi penyandang disabilitas, bahkan memperlakukan mereka dengan salah.

Hal ini tentunya merupakan masalah. Masyarakat selama ini memperlakukan para penyandang disabilitas secara berbeda. Lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi fisik tertentu, mereka dianggap tidak mampu melakukan aktivitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Dari prasangka inilah diskriminasi lahir dalam berbagai bentuknya.

3 dari 4 halaman

Diskriminasi Disabilitas Tingkat Negara

Di tingkat negara, diskriminasi biasanya timbul dari pemerintah dalam bentuk kebijakan dan peraturan yang tidak memihak pada penyandang disabilitas.

Cara Pandang Mistis dan Naif

Di samping diskriminasi, penyandang disabilitas juga menghadapi tantangan secara fisik, mental, intelektual, dan cara pandang masyarakat.

Menurut buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas,” secara umum, cara pandang terhadap disabilitas didominasi oleh cara pandang mistis dan cara pandang naif.

Cara Pandang Mistis

Cara pandang mistis adalah cara pandang yang menganggap bahwa disabilitas adalah takdir dari Tuhan. Tuhan yang menentukan apakah seseorang memiliki keterbatasan atau tidak. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah menjalaninya.

Sebagian beranggapan bahwa disabilitas adalah aib atau bahkan kutukan. Terhadap kelompok disabilitas, orang yang memiliki cara pandang ini akan meminta agar mereka bersabar dan berdoa semoga diberi kekuatan di tengah berbagai keterbatasan mereka.

Sementara terhadap masyarakat, orang yang memiliki cara pandang ini meminta agar masyarakat menyantuni penyandang disabilitas karena mereka memang dianggap memiliki keterbatasan. Menurut cara pandang ini, menyantuni kelompok-kelompok disabilitas adalah kebajikan.

4 dari 4 halaman

Cara Pandang Naif

Berbeda dengan cara pandang mistis, cara pandang naif melihat bahwa disabilitas adalah akibat dari adanya infeksi penyakit, keturunan, kecelakaan, atau penuaan.

Dengan kata lain, disabilitas adalah fenomena manusiawi, bukan fenomena “ukhrawi” (yang berkaitan dengan akhirat.

Oleh karena keterbatasan fisik, mental, maupun intelektual adalah fenomena manusiawi, maka cara pandang ini melihat pentingnya memberi pendidikan, pelatihan, kursus, keterampilan dan semacamnya. Sehingga, penyandang disabilitas bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Secara umum, cara pandang naif lebih baik ketimbang cara pandang mistis. Namun, keduanya memiliki kelemahan mendasar karena cara pandang keduanya berbasis belas kasihan.

Maka dari itu, cara pandang mistis maupun naif harus dilengkapi dengan cara pandang kritis bahwa disabilitas bukan hanya soal takdir, juga bukan semata-mata fenomena manusiawi.

Disabilitas adalah konstruksi sosial-politik. Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas tidak hanya dipikul oleh penyandang disabilitas sendiri dan keluarganya, tetapi juga tanggung jawab masyarakat, ormas dan terutama negara (pemerintah).