Sukses

Soal Kasus Penganiayaan pada Anak Speech Delay, Begini Tanggapan Angkie Yudistia

Penganiayaan yang dilakukan AZ dan D diduga lantaran kesal anaknya yang sudah menginjak usia empat tahun belum juga bisa bicara atau speech delay.

Liputan6.com, Jakarta Bocah penyandang disabilitas asal Tangerang Selatan, R, meninggal dunia setelah dianiaya oleh orangtuanya.

Sang ibu (AZ) dan ayah tirinya (D) melakukan penganiayaan berkelanjutan selama tiga minggu, membuat R mengalami luka dan patah tulang hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Penganiayaan yang dilakukan AZ dan D diduga lantaran kesal anaknya yang sudah menginjak usia empat tahun belum juga bisa bicara atau speech delay.

Tanggapan Angkie Yudistia

Kasus ini mendapat tanggapan dari Staf Khusus Presiden Bidang Sosial Angkie Yudistia. Saat berkunjung ke Emtek Group, Jakarta Selatan, perempuan yang juga menyandang disabilitas ini mengutuk keras perbuatan tersebut.

“Saya sangat mengutuk dan murka sekali kepada orangtua yang sampai tega membunuh anak. Enggak habis pikir, karena banyak banget orangtua pejuang garis biru yang pengen punya anak tapi susah,” ujar Angkie kepada Disabilitas Liputan6.com, Rabu (13/7/2023).

Angkie yang menyandang Tuli sadar dan merasakan sendiri bahwa hal paling sulit sebagai penyandang disabilitas di masa kecil adalah tidak bisa mengungkapkan apapun.

“Jadi yang kita perlukan adalah orangtua itu menerima kita apa adanya. Bukan kah orangtua yang dititipi anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah orangtua pilihan, orangtua yang diajarkan kesabaran luar biasa, orangtua yang harus melewati susahnya merawat ABK,” ujar Angkie Yudistia.

2 dari 4 halaman

Perlu Gencarkan Literasi Disabilitas

Bercermin dari kasus tersebut, Angkie mengingatkan perlunya literasi disabilitas yang lebih digencarkan dan dimaksimalkan.

“Orangtua sudah saatnya untuk pendampingan, agar mereka lebih mengerti dan memahami bahwa anak disabilitas itu bukan aib, anak disabilitas itu bukan sesuatu yang memalukan, bukan hal yang harus dikurung di rumah, ditutupi.”

“Tapi bagaimana bisa dikembangkan secara karakteristiknya, potensinya, di balik kekurangan pasti ada kelebihan. Nah itu yang orangtua harus lihat,” jelas Angkie.

3 dari 4 halaman

Literasi Disabilitas Perlu Diterapkan Sebelum Anak Lahir

Lebih lanjut, ibu dua anak ini menyampaikan bahwa literasi disabilitas perlu diberikan kepada calon orangtua sejak dini, sebelum anaknya lahir.

“Dari lahir itu juga bisa mengetahui anak menyandang disabilitas apa. Contohnya, ada potensi anak tidak bisa dengar itu kan ada pemeriksaan dini. Ini adalah bentuk komunikasi aktif kepada orangtua terkait kondisi anak yang sesungguhnya,” kata Angkie.

Bahkan, beberapa disabilitas sudah bisa dilihat ketika bayi masih dalam kandungan. Misalnya disabilitas fisik seperti kelainan pada tangan dan kaki.

“Dokter sudah bisa melihat kondisi anak sejak dalam kandungan dan itu adalah komunikasi aktif sedini mungkin sehingga menyiapkan orangtua untuk bersiap-siap menyambut kondisi anak yang sesungguhnya.”

4 dari 4 halaman

Sinergi Orangtua dengan Tenaga Kesehatan

Untuk mengetahui kondisi anak, maka orangtua perlu bersinergi dengan tenaga kesehatan seperti dokter spesialis dan psikolog, lanjut Angkie.

Dengan mengetahui kondisi anak, maka orangtua memiliki waktu untuk mempersiapkan diri sehingga ketika anak lahir, orangtua tidak kaget.

Angkie setuju bahwa tenaga kesehatan harus ikut bergerak dalam membangun literasi disabilitas dengan mengkomunikasikan kondisi anak kepada orangtua dan menjelaskan soal kondisi tersebut.