Liputan6.com, Jakarta Ekstrakurikuler atau ekskul Pramuka di SLB atau sekolah luar biasa masih belum banyak ditemukan.
Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor termasuk sulitnya mencari guru pembina. Seperti yang dialami SLB BC Kepanjen di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Baca Juga
Menurut Kepala SLB BC Kepanjen Yulia Esti Mulyani, selama ini SLB kesulitan mendapatkan pembina Pramuka. Pasalnya, para pembina merasa tidak mampu melatih anak-anak berkebutuhan khusus atau ABK.
Advertisement
Sementara itu, dari pihak sekolah juga minim sumber daya, pengetahuan dan keterampilan untuk memberikan pelatihan.
Selama ini kegiatan pramuka reguler dengan pramuka berkebutuhan khusus (PLB) dilaksanakan terpisah, ungkap Yulia.
“Ketika ada kegiatan bersama, kami merasa tersisih karena minimnya interaksi antara pramuka biasa dengan yang berkebutuhan khusus,” ujar Yulia mengutip keterangan pers Lingkar Sosial Indonesia (Linksos), Rabu (1/11/2023).
Untuk menjawab permasalahan tersebut, SLB BC Kepanjen bekerja sama dengan lembaga sosial disabilitas Linksos menginisiasi integrasi Kurikulum Merdeka dan pendidikan kepramukaan.
Kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak tentang pengarusutamaan isu disabilitas dalam kegiatan kepramukaan.
“Berawal dari diskusi dengan pembina Linksos tahun 2022 lalu. Saat itu kami menyampaikan bahwa SLB BC Kepanjen memerlukan pembina Pramuka. Kemudian setelah setahun lamanya berproses mencari pembina Pramuka akhirnya kini terwujud,” kata Yulia dalam penandatanganan kerja sama pada Sabtu 10 Oktober 2023, di ruang rapat SLB BC Kepanjen, Malang.
Optimalkan Guru yang Ada
Dalam kesempatan yang sama, pelatih Pramuka Duri Handoyo memberikan penguatan tentang Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan (EWPK).
Menurutnya, persoalan pembina Pramuka di sekolah luar biasa bisa diatasi dengan mengoptimalkan sumber daya guru setempat.
“Pada prinsipnya penyelenggara kegiatan kepramukaan di sekolah (dapat dilakukan) kepala sekolah sedangkan pembina Pramuka adalah para guru,” ujar Duri.
Namun dalam praktiknya, lanjut Duri, penyelenggaraan dan pembinaan kegiatan Pramuka sebagian besar diserahkan kepada Pembina yang bahkan berasal dari luar sekolah.
“Dampaknya, sekolah tidak memiliki program pembinaan, sehingga ketika pembina yang biasa melatih tidak ada, dipastikan tidak ada keberlanjutan,” tambah Duri.
Advertisement
Seluruh Guru Bisa Jadi Pembina Pramuka
Situasi seperti itu akan berubah jika seluruh guru sekolah adalah pembina Pramuka, lanjut Duri.
“Urusan akan menjadi lebih mudah, tak ada lagi persoalan koordinasi antara pembina Pramuka dan guru, sebab para guru itulah pembina pramukanya.”
“Diawali dari SLB BC Kepanjen ini, idealnya sistem kepramukaan ini kita laksanakan dan akan ditunjang dengan integrasi kurikulum merdeka dengan pendidikan kepramukaan,” ujar Duri.
Perlu Penguatan Regulasi Soal Pendidikan Kepramukaan
Dalam kesempatan terpisah, Advisor Kebijakan Publik Linksos, Fira Fitri Fitria menyampaikan perlunya penguatan regulasi.
“Diperlukan regulasi atau payung hukum yang konkret yang menaungi integrasi kurikulum merdeka dan pendidikan kepramukaan, misalnya dalam bentuk Perda di tingkat daerah atau PP di tingkat pusat,” terang Fira.
Dia melanjutkan, produk hukum tersebut akan menjadi jaminan pelaksanaan dan keberlanjutan integrasi kurikulum merdeka dengan pendidikan Pramuka.
“Terlebih memang kurikulum merdeka lebih bersifat mengakomodasi potensi dan kreativitas peserta didik,” pungkasnya.
Senada dengan Fira, Ketua Pembina Linksos Ken Kertaning Tyas mengatakan bahwa Pramuka itu pada prinsipnya memang harus inklusif.
“Pada prinsipnya Pramuka itu inklusif, artinya menjunjung tinggi kesetaraan, mengakui keragaman serta memberikan kesempatan yang sama. Namun, dalam praktiknya kegiatan kepramukaan ternyata belum inklusif sebab minimnya pengetahuan Pramuka tentang inklusi disabilitas,” ucap Ken Kerta.
Advertisement