Sukses

Cerita Pengurus Panti Asuhan Disabilitas dan Yatim Piatu di Gaza Hadapi Serangan Israel

Sejak serangan dan pengepungan Israel di Gaza berlangsung, Al-Naizi khawatir makanan, air dan kebutuhan dasar lainnya untuk anak-anak akan segera habis.

Liputan6.com, Jakarta Rasa khawatir meliputi hati pengurus panti asuhan anak yatim piatu dan disabilitas di Gaza, Hazem Saeed Al-Naizi.

Sejak serangan dan pengepungan tentara militer Israel di Gaza, Al-Naizi khawatir makanan, air dan kebutuhan dasar lainnya untuk anak-anak akan habis.

Dia berkisah, pada 27 Oktober sebuah serangan menghantam sebuah masjid di dekat panti asuhannya. Serangan itu meledakkan jendela, menghamburkan bangunan dengan puing-puing, menyulut api dan memenuhi udara dengan asap.

“Terjadi kekacauan di tempat itu, anak-anak menangis, dan asap serta api menyebar,” kata Al-Naizi mengutip CNN, Sabtu (18/11/2023).

“Kami segera memindahkan anak-anak ke tempat yang aman dan memadamkan api untuk menghilangkan asap yang hampir membunuh kami semua,” tambahnya.

Pada 2 November, ketika Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mendekati Kota Gaza, Al-Naizi mengatakan dia tidak punya pilihan selain memindahkan 40 orang dari panti asuhan. Delapan di antaranya adalah bayi yang harus dievakuasi bersamaan dengan barang-barang yang tidak mudah rusak.

Evakuasi juga dilakukan pada makanan dan alat lainnya menggunakan tiga bus besar. Menurut Al-Naizi, dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk evakuasi tersebut karena banyak anak yang harus digendong.

Mereka hanya berhasil menempuh perjalanan sekitar 1,2 mil (sekitar 2km), sebelum harus mendirikan tempat penampungan sementara.

2 dari 4 halaman

Evakuasi Terhambat Akses Jalan yang Tertutup

Saat evakuasi, banyak jalan yang ditutup akibat timbunan bangunan yang hancur, serta jalan tersebut tidak layak untuk dilalui kendaraan.

“Kami tidak dapat melarikan diri ke selatan Kota Gaza. Kota itu telah terkepung seluruhnya,” jelas Al-Naizi.

Bagi warga Palestina yang berusaha melarikan diri dari pertempuran, hidup sebagai penyandang disabilitas bisa menjadi hukuman mati yang efektif.

Orang-orang yang Tuli atau disabilitas netra cenderung tidak mengetahui perintah evakuasi dan tidak dapat mendengar atau melihat serangan yang datang, kata aktivis disabilitas dan organisasi bantuan kepada CNN.

Penyandang disabilitas intelektual lainnya mungkin tidak dapat menyampaikan keberadaan mereka kepada kerabat atau petugas penyelamat. Sementara, penyandang disabilitas fisik yang bergantung pada kursi roda dan alat bantu lainnya tidak dapat menavigasi reruntuhan, apalagi berjalan bermil-mil ke selatan.

3 dari 4 halaman

Pilihan Serba Salah

Pengasuh seperti Al-Naizi menghadapi pilihan yang serba salah. Antara tetap tinggal dan berisiko terbunuh atau melarikan diri ke suatu tempat tanpa jaminan keselamatan.

“Di mana saya akan meninggalkan anak-anak ini, di jalan?” kata Al-Naizi. “Kami tidak punya harapan, kecuali kalau perang ini akan segera berakhir.”

Seperti diketahui, Israel melancarkan kampanye militernya dengan tujuan menghancurkan Hamas. Sekaligus menyelamatkan lebih dari 240 sandera yang disandera selama serangan kelompok militan tersebut pada tanggal 7 Oktober.

Pemboman udara dan serangan darat Israel yang tiada henti sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 11.470 orang, termasuk 4.707 anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Ramallah.

4 dari 4 halaman

2/3 Penduduk Gaza Jadi Pengungsi

Lebih dari dua pertiga dari 2,2 juta penduduk Gaza telah menjadi pengungsi sejak perang dimulai. Dan banyak dari mereka kini tinggal di tempat penampungan sementara yang penuh sesak.

Mereka kehabisan makanan, air, obat-obatan dan kapasitas sanitasi seiring dengan terhambatnya bantuan.

Lebih dari 15 persen dari pengungsi internal adalah penyandang disabilitas, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB.

Arus warga Palestina – termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua – semakin banyak menuju ke selatan melalui koridor evakuasi harian yang diumumkan oleh IDF.

CNN sebelumnya telah melaporkan warga sipil Palestina yang mengikuti perintah evakuasi tetap terbunuh oleh serangan Israel. Menggarisbawahi apa yang digambarkan oleh kepala hak asasi manusia PBB, Volker Türk, sebagai kenyataan suram bahwa “tidak ada tempat di Gaza yang aman.”

Organisasi Turki dan hak asasi manusia mengatakan bahwa serangan Israel terhadap warga sipil merupakan kejahatan perang, begitu pula evakuasi paksa mereka.

Bagi warga Gaza yang merupakan penyandang disabilitas – yang berjumlah sekitar 48.000 jiwa, dan lebih dari seperlimanya adalah anak-anak, evakuasi menjadi hal yang amat sulit bahkan tidak mungkin. Ini disampaikan dalam laporan Biro Statistik Pusat Palestina yang diterbitkan pada tahun 2019.